Kamis, 15 Maret 2012


Nak Bali mule sugih-sugih (Orang Bali memang “kaya-kaya”). Bikin penjor tak tanggung-tanggung, jutaan rupiah, demi sebuaah yadnya dan nilai seni. Di sini memang letak kepuasan dari manusia Bali, ketika seni berpadu dengan religious sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Apa buin ane kel anggo ade (apalagi yang dipakai ada, maksudnya ada uang). Maka kloplah antara kemauan dan kemampuan.
Gejala penjor “aeng” sebenarnya sudah diangkat di Taksu beberapa tahun yang lalu ketika mulai maraknya penjor-penjor mahal yang awal-awalnya muncul di daerah Canggu Kerobokan dan sekitanya, lalu merembet ke daerah lainnya. Kini setelah beberapa tahun kini telah merembet ke seluruh tanah Bali. Ketika Galungan, Bali disemarakkan dengan penjor meriah yang terbuat dari ental dengan berbagai macam corak, berbagai raam hiasan. Ada yang pakai bulu dari praksok, ada dari bulu jaran, ada yang berisi tedung empat, ada yang berisi patung angsa, garuda, adapula yang berisi ogoh-ogoh, dll. sesuai dengan keinginan si pembuat penjor.
Seni memang seni, meriah memang meriah. Namun ketika kita berbicara mengenai penjor sebagai sebuah sarana upacara, maka penjor tak lain dan tak bukan adalah sebuah banten, sebuah persembahan, maka kita akan berbicara mengenai makna dari penjor itu sendiri. Dan ketika berbicara tentang Bali “Hindu” dengan segala macam upacaranya maka kurang lengkap rasanya kalau kita tidak mnyinung mengenai taksu atau nilai sakral dan magis yang terkandung dalam sarana tersebut, dalam hal ini pnjor.
Dan ketika kita melihat penjor yang berkembang sekarang, hanyalah masih terkesan jor-joran alias meriah-meriahan dan terkesan berlomba meaeng-aengan (hebat-hebatan) tanpa ada tujuan yang jelas siapa yang diajak berlomba siapa yang akan diajak meaeng-aengan. Dan ternyata perlombaan atau meaeng-aengan itu hanyalah berlomba terhadap hasrat hati yang ingin tampil paling wah, ingin tampil beda. Jadi apa yang menjadikan semua ini, tak lain dan tak bukan adalah ego dalam diri. Yang sejatinya ego sama sekali tak boleh melekat dalam sarana upacara apalagi sebuah yadnya. Sebab yang namanya yadnya adalah suatu ketulusan.
Coba kita amati dengan seksama, kemeriahan dari “penjor egois, penjor ambisi, penjor ajum” ini tak seimbang dengan perlengkapan pokok dari sebuah penjor yadnya yang pada dasarnya merupakan rangkaian dari banten yang dibuat sedemikian dilengkapi dengan pala bungkah, pala gantung, pala wija, dll. yang kesemuanya melambangkan hasil bumi. Sebagai wujud rasa syukur kehadapan Ida Betara yang berstana di gunung yang tinggi (di Bali dilambangkan dengan Gunung Agung) sebagai pemberi anugrah kesuburan. Karena dipersembahkan kepada Ida Betara yang berstana di gunung maka penjor dibuat menjulang tinggi, dengan kesederhanaannya. Kemudian, naluri seni semakin lama semakin berkembang, sehingga sampai pada simbolisasi naga pada penjor melambangkan kedudukan dari Naga Basuki yang diyakini sebagai kekuatan yang menyangga Gunung Tohlangkir (Gunung Agung) dan sebagi penjaga tanah Bali, sekaligus sebagai pemberi anugrah kesejahteraan bagi manusia. Artinya bahwa semua yang dilakukan dilandasi atas pemaknaan religius yang mendaam. Kalau kasarnya boleh dibilang bahwa setiap tindakan selalu diberi makna oleh leluhur, yang selalu mencerminkan rasa bhakti yang tulus kehadapan sang pencipta.
Nah kembali ke masalah penjor yang jor-joran tadi, sudahkan semua penjo aeng itu dilengkapi sesuai dengan maksud di atas. Suah semua ornamen dan ragam hias yang dikembangkan tersebut diimbangi pula dengan pemaknaan? Ataukah hanya sekedar hiasan yang mungkin maknanya masih belum terbayangkan, menuruti kehendak hati. Inilah yang kemudian menunculkan kesan dan pendapat dari masyarakat yang mengatakan bahwa penjor meriah seperti itu hanyalah sebuah trend tanpa makna filosofi pada penjor itu sendiri.
Ambilah contoh pendapat seorang ibu mengatakan bahwa ia kurang sreg melihat penjor-penjor yang hanya berisi ental melulu, kelihatannya kurang segar. Ia malah lebih tertarik dengan penjor-penjor yang terbuat dari busung atau ambu yang mungkin akan tampak segar pada awalnya dan sesuai dengan hkum alam ia kemudian akan layu dan kering. Biaya lebih murah, lebih memiliki makna serta memancarkan taksu kehidupan sesuai dengan hukum alam.
Itu hanyalah salah sau contoh dari sekian banyak masyarakat mengapresiai trend pnjor jor-joran. Wajar saja masyarakat bependapat seperti itu, dan sah-sah saja, sebab perkembangan kreatifitas umat sepetinya tak diimbani dengan kreatifitas pemaknaan. Kepekaan alam nilai seni tak diimbani dengan kepekaan dalam kehidupan sosial, yang menyebabkan karma Hindu jor-joran dalam beryadnya, namun membiarkan mereka sesama umat yang hidupnya keteteran. Padahal tujuan beryadnya sejainya adalah selain rasa syukur kehadapan Hyang Maha Pencipta, jua sebagai sebuah upaya pengharmonisan kehidupan baik sekala maupun niskala.
Jaman telah berubah dan berkembang. Bahkan fenomena seperti ini telah dibaca pengelola negeri ini dan kini dimasukkan sebagai sebuah usaha dalam ruang lingkup ekonomi kreatif. Jaman boleh berubah, namun nilai, makna, serta taksu dari penjor itu mesti tetap terjaga. Kalu hal ini tak ada pada penjor Galungan atau penjor upacara, maka apa bedanya penjor Galunan dengan penjor ulang tahun atau penjor hari Natal yang dibuat oleh saudara-saudara kita yang sudah berpindah keyakinan ke Katolik? (repro_Taksu). 

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!
[google5b9daa06de110b1c.html]