Sabtu, 03 Juli 2010

TABUH RAH ala TENGANAN

Dengan mageret pandan mereka menyuburkan bumi dan segala isinya, sehingga panen melimpah. Juga penduduk Tenganan bisa makmur sentosa dijauhkan dari marabahaya.

Di desa Tenganan Bali, sebuah desa Bali Aga, mengenal atraksi mageret pandan, dikaitkan dengan upacara ngusaba yang berlangsung selama sebulan . Mageret pandan biasanya dilaksanakan pada akhir upacara Ngusaba. Dalam kalender Tenganan, jatuh pada bulan kasadha atau ke 12. Tapi dalam kalender masehi, jatuh pada bulan oktober.
“Makna mageret pandan adalah melakukan persembahan kepada pertiwi Selain melalui ngusaba, juga pada puncaknya diadakan korban darah yang menetes langsung ke tanah atau pertiwi. Tujuannya dalah memberikan kesejahteraan kepada seluruh isi dunia ini”, ungkap Wayan, 48 tahun , tetua desa Tenganan. Menurutnya, tradisi telah berlangsung pada ratusan tahun, dan dianggap sebagai salah satu cara untuk melakukan pengabdian secara tulus iklas kepada bumi dan isinya .
Senjata yang digunakan dalam perang pandan terbuat dari pandan berduri sepanjang 25 cm. diikat sebesar genggaman. Durinya mengarah keluar. Pandan biasanya digunakan telah berumur. Pandan di Tengan masih banyak, karena mereka masih menjaga lingkungan alamnya dengan ketat.
“Melihat sepintas saja, kita sudah ngeri apalagi membayangkan bila punggung dan leher dikoyak membabi buta dengan senjata klasik ini ,” tutur Christin, 24 tahun, bule asal Swiss yang datang khusus ke Tenganan untuk menyaksikan atraksi ini.
Saat mageret pandan berlangsung, suasana Desa Tenganan yang berpenduduk sekitar 1800 orang itu berubah seketika. Desa yang dibalut hutan lebat itu tiba-tiba jadi hingar bingar. Karena penonton dan pedagang menyerbu Desa Tenganan.
Begitu kulkul dibunyikan oleh klian adat, pertanda upacara dan rentetan mageret pandan berlangsung. Gamelan selonding ditabuh, gamelan yang hanya terdiri dari 6 bilah dan mengeluarkan irama yang melankolis. Suasana kemudian menjadi demikian khusuk ketika bendesa adat Tenganan turun dari bale adat yang disesaki aneka atribut upacara yang menyertai mageret pandan.
Pada hari pertama mageret pandan biasanya dilangsungkan di bale adat dan berlangsung di atas tanah. Sedangkan hari kedua dibuatkan panggung khusus. Setelah semua ritual yang intinya memohon keselamatan dan dijauhkanlah peserta dari kecelakaan dilangsungkan, peserta mageret pandan membentuk dua kelompok berseberangan.
Kenapa diadakan di tanah, maksudnya, saat mageret pandan berlangsung, setiap lawan mencoba melukai punggung lawannya. Dari luka itu akan mengucur darah yang jatuh ke tanah yang konon akan menjadi sarana untuk bersih desa, menghilangkan segala macam wabah dan turut menyuburkan bumi Tenganan. Namun ada pantangan yang harus mereka lakukan seperti tidak menyerang lawan yang tamengnya jatuh.
“Mereka tidak boleh mendendam, juga tak boleh melukai wajah secara sengaja. Kalau itu dilanggar ada sanksinya.” tutur Wayan. Setiap peserta perang pandan memang membekali diri dengan tameng. Peserta yang lihai akan berkelit sembari menutupi bagian yang diserang dengan tameng ini. Sambil mengikuti irama gamelan mereka yang terpilih untuk adu tanding akan mengambil seikat pandan yang durinya super tajam dan perisai diri ini.
Saling sabet, saling gores dan saling tangkis. Gamelan selonding yang saling bertalu-talu seakan menambah semangat, baik yang berlaga maupun para penonton yang mengitari arena. Biasanya sabetan pertama mereka masih menghindar. Tapi begitu sabetan kedua mereka sudah mulai menancapkan pandan di punggung lawan maka mereka akan menggesekan pandan seperti mengergaji kayu. Tak ada jeritan kesakitan, hanya teriakan penonton histeris yang terdengar ditengah gamelan yang bertalu.
Darah memerah mulai mengucur dari punggung, wasit dengan sigap menjaga keseimbangan permainan. Begitu terlihat ada yang kalah maka wasit akan berteriak sambil menunjuk pemain yang kalah, mereka minggir dan digantikan pasangan yang lainnya.
“Bila hari tidak hujan permainan bisa berlangsung dari tengah hari hingga senja. Setiap pemain bisa turun sampai 5 kali tergantung stamina mereka” tutur ketut Ibuh penduduk setempat yang kala itu turun sampai 3 kali dan sekujur tubuhnya dipenuhi goresan pandan.
Peserta dari semua umur antara 13 sampai 60 tahun, dan pasangan lawannya biasanya dicarikan sepadan. Dan jangan heran yang tua malahan lebih banyak mengundang simpati dan tepuk tangan. Karena mereka sudah puluhan kali ikut berlaga. Jadi lagak dan tingkah laku mereka sudah seperti pemain professional. Mereka umumnya sudah mulai ikut berlaga di arena mageret pandan sejak usia belasan.
Setiap orang di Tenganan harus berani mengikuti acara ini, karena disamping untuk mengadu kekuatan juga untuk mempersembahkan darah mereka demi keselamatan desa dan kesuburan bumi yang menjadi hunian mereka semua.
“Tak ada yang berani berkelit dari kewajiban seperti itu karena ini semacam tanggung jawab dari seluruh warga Tenganan, kami menyebutnya dengan istilah menjaga kelestarian budaya Adiluhung warisan leluhur,” ujar Ketut Ibuh yang termasuk katagori pemain perang pandan yang disegani di Tenganan itu.
Di hari pertama, pemain hanyalah dari penduduk asli Tenganan. Hari kedua orang luar boleh ikut mencoba bertarung. Turispun ada yang berani turun berlaga, demi mendapat pengalaman yang eksotis.” ujar Made Karma seorang pemandu wisata. Setelah semua mendapat giliran, menjelang senja tiba mageret pandan berakhir. Seiring dan tubuh-tubuh yang terluka bersimbah darah itu, mereka berkumpul di balai desa. Kali ini bukan untuk mengadu ketangkasan, tapi untuk saling mengobati luka dengan ramuan khusus dari kunyit dan air cendana. Baunya harum dan warnanya khas. “Dengan ramuan ini, luka itu akan sembuh dan tak akan terjadi infeksi, bahkan mereka akan segar bugar karena darah kotornya telah diteteskan di bumi Tenganan” papar Ketut Ibuh lagi.
Turis asing, penduduk sekitar desa dengan seksama mengikuti proses saling mengoleskan ramuan kunyit ini. Beberapa turis yang belum beranjak pulang malahan dengan ngeri melihat luka yang menganga sambil mengabadikannya dengan handycam. ”Ini untuk kenang-kenangan bahwa saya pernah melihat perang pandan di Tenganan ini,” tutur Fiona, 23 tahun, asal Finlandia.
Setelah semua luka terobati, mereka berkumpul lagi untuk melakukan prosesi keagamaan, untuk menutup mageret pandan. Setelah doa dan puji syukur diucapkan oleh peminpin agama, akhirnya mereka makan bersama dalam istilah setempat disebut megibung. Tak ada dendam, walaupun saat perang mereka garang. Tapi begitu megibung semua seakan larut tak ada rasa marah.
Mereka menyadari bahwa mageret pandan adalah warisan leluruh yang harus dijaga oleh generasi penerusnya. Dengan mageret pandan itu mereka sekaligus menyuburkan bumi dan isinya, sehingga panen melimpah. Juga penduduk Tenganan bisa makmur sentosa dijauhkan dari marabahaya.

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!
[google5b9daa06de110b1c.html]