Jumat, 23 April 2010

Baik untuk Ibu Hamil

Di Bali memang penuh keunikan, karena mengambil tradisi leluhur sebagai pedoman hidup masyarakat. Tumpek Wayang memiliki arti cukup luas. Tumpek dalam etimologi katanya berarti “dekat atau mendekat”. Sedangkan wayang bisa juga diartikan sebagai “gambaran hidup manusia”. Secara umum berarti sebuah gambaran yang mendekati perilaku atau karakter manusia.
Bagi yang lahir di wuku wayang atau tepat pada tumpek wayang, memiliki karakter yang berbeda dengan anak pada umumnya. Anak yang lahir saat wuku wayang memiliki karakter keras hati, teguh pendiriannya, suka berkelana dan agak nakal. Karakter inilah yang menjadi kekhawatiran para orang tua, karena menurut pandangan mereka, dengan memiliki anak seperti itu orang tua akan sulit mendidiknya. Makanya ajaran agama Hindu Bali memberikan solusi yakni mebayuh oton saat hari kelahirannya, khususnya pada wuku wayang dengan mengadakan wayang sapuh leger sekali dalam hidupnya, baik masih anak-anak atau dewasa tergantung dari kemampuan.
Mebayuh mempunyai arti pembersihan atau penyucian terhadap raga dan jiwa manusia yang lahir pada wuku wayang. Sudah barang tentu yang membayuhkan tidaklah orang sembarangan. Haruslah sang meraga dwijati atau yang mempunyai gelar brahmana secara umumnya. Khusus wuku wayang, dalang yang sudah mendapatkan gelar Mpu Leger dari Betara Siwa dalam hal ini disimbulkan dari Nabe Sang Dalang. Tidak semua dalang bisa melaksanakan wayang sapuh leger. Sebelum mendapatkan gelar Mpu Leger, kalau belum mendapatkan gelar tersebut itu akan membahayakan sang dalang dan yang dibayuh.
Jika tidak dilaksanakan pebayuhan wayang sapuh leger, maka akan berdampak negatif terhadap yang bersangkutan, tidak hanya karakternya saja, jiwanya juga terkena pengaruh. Yang bersangkutan mungkin akan menjadi sakit-sakitan tanpa tahu penyebabnya, pemarah yang tidak jelas, sering terkena pangaruh aura negatif, dll. Memang pebayuhan, bukan satu-satunya cara, tetapi kadarnya lebih banyak dibanding dengan yang lainya, karena saat bayuh sapuh leger disitulah kekuatan jnana sang dalang dituangkan, sehingga aura negatif akan tersingkir, karena dalam mantra sang dalang ada kekuatan menghilangkan desti, teluh terangjana, dll.
Melukat mempunyai arti yang sama dengan mebayuh, kalau melukat bantennya lebih kecil dibanding dengan mebayuh. Saat tumpek wayang itu sang dalang melaksanakan prosesi upacara penyucian wayang maupun tapel-tapel yang berhubungan dengn cerita pewayangan. Di sini juga jnana sang dalang dibuktikan, karena bertepatan dengan kajeng kliwon, yang mana merupakan hari cukup tenget bagi orang Bali, karena penyatuan kekuatan Siwa dan Dhurga menjadi satu, sehingga menimbulkan aura yang magis. Sang dalang pun berkonsentrasi agar prosesi berjalan lancer.
Bagi yang sudah mebayuh sapuh leger diperbolehkan untuk ikut, karena prosesi ini terbuka untuk umum, khususnya bagi yang lahir di wuku wayang. Setelah prosesi upacaranya barulah sang dalang membuat tirta penglukatan dengan simbul kayon bergambar Acintya, Siwa Guru, dan Tualen. Ini menggambarkan Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa. Ketiga simbol ini (wayang) dicelupkan tangkainya ke dalam tirta, sehinga menjadi tirta penglukatan. Biasanya untuk ibu-ibu hamil cocok melukat wayang, karena membawa dampak yang baik untuk si jabang bayi, karena akan terhindar dari aura negatif seperti desti, teluh terangjana. Ini akan menguatkan psikologi sang ibu untuk melindungi sang bayi, karena bayi memang rentan dan peka terhadap aura negatif. Dengan tirta penglukatan tumpek wayang, akan menghindari aura negatif dalam tubuh, termasuk tubuh kita sendiri.
Jnana sang dalang melalui mantranya yang diucapkan juga mengandung penghilangan kekuatan negatif. Memang tidak sembarangan dalang melaksanakan upacara ini, kecuali yang sudah mendapatkan gelar Mpu Leger. Kepada umat agar terus menanamkan keyakinan diri dan kepada Sang Pencipta.

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!
[google5b9daa06de110b1c.html]