Sabtu, 24 April 2010

Media Komunikasi dengan Leluhur

Manusia Bali, dalam keidupannya tak terlepas dengan yang namanya leluhur yang sudah meninggal. Manusia Bali sebenarnya senantaisa menjalin hubungan langsung dengan para leluhur yang sudah meninggal, walaupun tak kelihatan namun hubungan ini dapat dirasakan. Hukum reinkarnasi, hukum karmapala melatarbelakangi hal tersebut. Bahkan baik buruk perilaku manusia di dunia ini juga akan mempengaruhi kehidupan para leluhur di alam sana.
Secara sekala tak tampak terjadi hubungan langsung dengan leluhur, namun secara niskala, sebenarnya manusia Bali setiap hari menjalin hubungan langsung dengan leluhur yang telah meninggal. Selain menyelengarakan upacara pitra yadnya dan manusia yadnya secara khusus yang tujuannya untuk penebusan hutang kepada leluhur yang sudah meninggal maupun yang sedang numitis ke dunia, manusia Bali senantiasa menyelenggarakan upacara memunjung di rumah setiap hari.
Manusia Bali setiap menghaturkan saiban sebagai ucapan rasa syukur atas berkah dewata, juga mengharmoniskan hubungan dengan alam semesta. Disamping itu manusia Bali juga setiap hari memunjung, yakni persembahan berupa hidangan kopi jaja, nasi dengan penyertanya. Punjung ini diletakkan di bale delod atau bale dangin atau tempat khusus yang diperuntukkan memunjung. Biasanya di samping hidangan tersebut dilengkapi juga dengan pecanangan atau pabuan yang berisi seperangkat alat atau bahan nginang yang terdiri dari base, gambir, buah, pamor, dan mako. Kadang juga dilengkapi dengan rokok. Ini semua sebenarnya adalah untuk dipersembahkan kepada leluhur yang sudah meninggal.
Keyakinan manusia Hindu Bali, bahwa para leluhur akan senantiasa datang mampir dan mengawasi para sentananya. Untuk itulah sebagai penyambatsara (penyambutan) atau sebagai jamuan bagi para leluhur, manusia Bali menyajikan punjung secara sederhana setiap pagi sehabis memasak. Ini adalah punjung disajikan setiap hari yang sifatnya rutin, diperuntukkan bagi para leluhur yang mungkin datang.
Ada juga punjung yang depersebahka pada rerahinan yang sifatnya khusus, lebih istimewa, lebih beragam dan lebih banyak. Karena dilengkapi dengan kopi, jaja, buah-buhan, dan makanan yang dihidangkan juga lebih lengkap seperti nasi, lauk pauk, kuah, sayur, sambel, sate, dll. Pokoknya lebih lengkap dan lebih istimewa. Punjung ini dihaturkan pada hari rerahinan untuk mempermaklumkan kepada para leluhur bahwa hari ini adalah hari rehahin. Bahwa pretisentananya melakukan persembahan kehadapan Ida Betara berupa banten di merajan dan di pura. Dan bersamaan dengan itu para leluhur juga dipersembahkan hidangan dalam bentuk punjung, dengan harapan para leluhur di alam sana mendapatkan kerahayuan dan sekaligus mendoakan agar para pretisentananya yang hidup di dunia ini meendapatkan kerahayuan juga.
Dalam menghaturkan punjung pada saat rerahinan, sang ibu atau yang menghaturkan akan mesee (berdoa dengan bahasanya sendiri) seperti misalnya “ratu sang pitara-pitari sareng sami sane nuenang driki, titiang pretisentana duwene ngaturang punjung, manda pada ledang rawuh budal ngarsayang, manda pada ngerastitiang damuh tur sentana sami manda rahayu”. Atau ada juga yang mesee seperti ini “Pekak, dadong, kumpi, nyen je benehne, mai mulih delokin sentanane tur rastitiang sentatanane apang rahayu” hal ini diucapkan sembil ngayabang punjung”. Mungkin seperti itu see-nya yang mengharapkan agar para leluhur berkenan hadir pulang untuk menikmati santapan yang mampu dihidangkan oleh petisentanya, serta leluhur berkenan untuk ikut ngerastitiang atau mendoakan agar para sentananya mendapatkan kerahyuan di dunia ini.
Punjung terseut juga dilengkapi dengan canang dan dupa sebagai sarana penyucian bahwa agar yang dihaturkan tersebut adalah sesuatu yang suci dan untuk mencapai kesucian, termasuk juga kalau misalnya para leluhur yang tak sempat hadir pulang ke rumah, agar sari-sari atau amerta dari punjung tersebut sampai kepada para leluhur semunya dimanapun berada, sehingga leluhur menjadi senang dan berkenan.
Pada saat memunjung, leluuhur diperlakukan sebagaimana seperti mereka masih hidup. Disediakan base, disuguhi wedang, rokok, kemudian makanan, dan seperadeg (seperangkat) pakaian dalam bentuk rantasan. Demikian juga disediakan air untuk membasuh tangan. Setelah ritual munjung selesai, pretisentananya yang menghaturkan punjung tersebut ikut menikmati hidangan tersebut yang diistilahkan dengan ngesag punjung, sebagai symbol kebersamaan atau hubungan harmonis antara pretisentananya yang masih hidup dengan yang sudah meninggal, istilahnya makan bersama. Pada saat inilah para leluhur akan merasa senang kepada para sentananya. Seandainya punjung tersebut tak di-saag atau dinikmati oleh sentananya, maka disebut dengan Ngoga. Para leluhur akan sedih melihatnya, karena sentananya tak mau dekat dan tak mau bersama-sama bersenang-senang dengan leluhurnya. Demikian keyakinan manusia Bali terhadap hubungannya dengan leluhur.
Selain punjung harian, punjung rerahinan, juga ada punjung yang dibawa pada hari tertentu kepada saudara yang sudah meninggal namun masih di kubur. Biasanya dibawakan punjung pada hari rerahinan ke kuuran dimana ia dikuburkan. Di sana yang membawa punjung kemudian secara bersama-sama menikmati punjung di kuburan. Dan kalau misalnya tak sempat membawa punjung tersebut ke kuburan, maka punjung tersebut dihidangkan di rumah di bale delod atau bale dangin, dan biasanya memunjung di bawah, sesuai dengan statusnya masih ikubur atau belum diaben. Dari sini sang pitra dipanggil dengan menyebut namanya atau sebutan lain, diharapkan untuk bisa pulang sejenak menikmati hidangan punjung yang disuguhkan kepadanya dengan harapan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di alam sana.
Ada juga punjung yang diberikan kepada roh orang yang baru meninggal. Pada saat ia diupacarai ngaben atau di kubur, punjung yang dibuat sangat istimewa dan beragam. Berbagai macam hidangan makanan, minuman, jaja-jaja dan rajka-raka dihidangkan kepadanya. Punjung ini adalah yang istimewa, sebagai bekal keberangkatannya ke dunai lain, atau mungkin sebagai oleh-oleh kepada para kerabat, teman dan handai taulan yang ditemui di alam sana atau disepanjang perjalanan.
Dari semua itu, punjung merupakan sarana atau media komunikasi antara leluhur dengan pretisentana yang masih hidup di dunia, untuk saling mendoakan agar mendapatkan kesejahteraan di dunia akhirat bagi yang sudah meninggal, dan di mercapada bagi yang masih hidup. Artinya bahwa manusia Bali dengan keyakinannya tak dapat dipisahkan dengan leluhur, dengan kata lain manusia Bali dengan keyakinannya ia hidup dalam dua dunia. (Taksu/Kanduk)

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!
[google5b9daa06de110b1c.html]