Menurut konsep Mpu Kuturan alias Mpu
Rajakretha, bahwa tanah-tanah disekitar Desa Pakraman adalah milik Desa
Pakraman bersangkutan, yang berarti pula milik Kahyngn Tiga. Setiap nggota Desa
Pakraman memperoleh tanah garapan dengan status Tanah Ayah Desa sebagai sumber
penghidupannyasekeluarga dengan luas tertentu sesuai dengan jumlah nggota Desa
Pakraman dan luas tanah milik Desa Pakraman. Dengan mendapatkan tanah Ayah Desa
Pakraman, setiap orang berkewajiban menjadi Ayah Desa dan tanah-tanah tersebut
tidak boleh dirobah atau dialihkan statusnya seperti misalnya digadaikan atau
dijual. Disamping setiap anggota Desa Pakraman memperoleh tanah garapan (Ayah
Desa), kepada setiap anggota Desa Pakraman diberikan scutak tanah untuk pekarangan
rumah, yang pada waktu itu ditentukan bahwa setiap anggota Desa Pakraman
memperoleh tanah untuk pekarangan rumah dalam luas tertentu dan sama yitu
masing-masing pekarangan rmah seluas 400 pacaraken atau 375 M2.
Tiap-tiap
pekarangan rumah ini dibedakan menjadi tiga fungsi sesuai dengan ajaran tri
hita karana yaitu Parhyangan, Pawongan dan Palemahan yang masing-masing fungsi
luasnya berbeda yaitu :
a. Parhyangan
yaitu genah Pitrapuja ialah tempat suci untuk menghormati serta memuliakan dan
memuja arwah suci nenek moyang atau Leluhur, yang sekarang dikenal dengan
sebutan Marajan atau Sanggah.
b. Palemahan
yaitu kakuwub mwang sadagingpekarangan ialah tanah pekarangan dimana dibngun
rumah sebagai tempat pemukiman yang sekarang dikenal dengan pekarangan rumah.
c. Pawongan yaitu sang adrewa karang yaitu pemilik tanah pekarangan, rumah dan semua isinya ialah penghuni rumah tersebut.
c. Pawongan yaitu sang adrewa karang yaitu pemilik tanah pekarangan, rumah dan semua isinya ialah penghuni rumah tersebut.
Masing-masing
pekarangan rumah dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu Marajan atau Sanggah,
Perumahan dan Teba untu tempat kandang hewan peliharaan seperti sapi, kuda,
kerbau, babi dan lain sebagainya. Masyarakat Hindu di Bali mengenal adanya
konsep rwa bhineda yangmelahirkan kondisi yang berbeda malahan berlawanan,
tetapi tidak dapat dipisahkan dan kebradaanya selalu bersama-sama, antara lain
yang disebut Hulu dan Teben, dimana Hulu dianggap lebih suci dari pada Teben.
Bagi masyarakat Hindu di Bali bagian pekarangan rumah yang dianggap suci berada
dibagian Utara dan Timur, sehingga pertemuan antara Utara dan Timur yaitu Timurlaut
dipandang sebagai tempat yang paling suci dibanding dengan bagian-bagian
lainnya didalam pekarangan rumah tersebut. Oleh karena Marajan atau Sanggah
adalah tempat suci untuk menghormati serta memuliakan dan memuja arwah nenek
moyang atau Leluhur, maka Marajan atau Sanggah ini ditempatkan pada bagian
Timurlaut, sedangkan Teba ditempatkan dibagian selatan atau Barat dari
pekarangan rumah. Begitu pula ketika tidur maka kepala selalu berada dibagian
Utara atau Timur yang dipandang suci, sedangkan kaki berada dibagian Selatan
atau Barat dari tempat tidur, yang menurut istilah Hindu di Bali disebut Luwan
(hulu) dan Teben,dan ini berlaku didaerah Bali Selatan.
Sedangkan didaerah Buleleng letak Marajan atau Sanggah
ini bertolak belakang dengan di Bali Selatan, yaitu Palinggih-palinggih
(bangunan suci) terletak pada bagian Utara di Bali Selatan, justru didaerah
Buleleng ditempatkan pada bagian Selatan. Dapat dijelaskan di sini, bahwa
menganai masalah penempatan palinggih-palinggih (bangunan suci) ini, sesungguhnya
bukan berkiblat pada arah (mata angin) Utara dan Selatan, melainkan berpedoman
kepada istilah yang umum disebut Kaja dan Kelod. Kata Kaja dan Kelod disini
berasal dari kata ke Ja dan ke Lod, dan kata Ja dan Lod berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu Ja berarti kelahiran (lahir) dan Lod bermakna laut. Penggunaan
kata Ja dan Lod mengikuti dan berkiblat kepada aliran air sungai yang bersumber
(lahir) dipegunungan (gunung) dan bermuara dilaut dan jika pergi kesumber
(kelahiran) dikatakan ke Ja, yang kemudian berubah dan lazim dikatakan Kaja,
sedangkan kemuara dikatakan ke Lod dan kemudian berubah dan lazim dikatakan
Kelod. Disinliah letak perbedaan penempatan Marajan atau Sanggah di Bali
Selatan dengan didaerah Buleleng, dan kini di Bali malah ada pendapat yang
mengatakan bahwa penempatan Marajan atau Sanggah ini berkiblat kepada letak
gunung dan laut.
Seterusnya
dapat dijelaskan mengapa Palinggih (bangunan suci) yang berbentuk Rong Tiga
(Rong Telu) yang kini lebih dikenal dengan sebutan Kamulan selalu ditempatkan
dibagian Timur dan menghadap ke Barat pada Marajan atau Sanggah, sebab pada
Palinggih (bangunan suci) inilah dihormati serta dimuliakan dan dipuja arwah
suci nenek moyang atau Leluhur oleh parati santana (keturunan). Nenek moyang
atau Leluhur adalah merupakan cikal bakal yang dihormati serta dimuliakan
dipuja pada palinggih (bangunan suci) rong Tiga (Rong Telu) atau Kamulan yang
letaknya pada bagian Timur pada Marajan atau Sanggah. Kata Timur berarti Kangin
yang didalam bahasa Kawi disebut Purwa, dan kata Purwa juga berarti awal atau
permulaan, sebab itu palinggih (bangunan suci) ini ditempatkan di Purwa sebagai
perlambang cikal bakal atau pemula dari parati santana (keturunan).
Oleh
karena zaman dahulu tanah masih cukup luas dan penduduk masih sedikit
jumlahnya, didalam pengembangan dan perluasan pemukiman tidak menemui hambatan
dan kesulitan, karena tanah lahannya cukup tersedia, sehingga di dalam
mengadakan pengembangan dan perluasan pemukiman dapat dilakukan seperti yang
diharapkan dengan cara horisontal. Namun sekarang situasi dan kondisinya sudah
berubah dan berbeda, dimana tanah lahan sudah menjadi sempit dan penduduk sudah
bertambah banyak, sehingga pemukiman sudah penuh sesak dengan penghuni,
terutama dikota-kota dan ditambah lagi kebutuhan hidup semakin hari semakin
meningkat. Didalam pengembangan dan perluasan pemukiman ini, tanah memegang
peranan penting dan menentukan, disamping harganya semakin hari semakin
meningkat, hampir tidak terjangkau oleh masyarakat kebanyakan juga sangat sulit
diperoleh.(Repro Majalah Taksu edisi 228)
0 komentar:
Posting Komentar