Sabtu, 23 Januari 2010

Sistem perkawinan di Bali yang dilatarbelakangi budaya feodal telah melahirkan berbagai macam tradisi mengenai tatanan kehidupan masyarakat, tatanan bahasa, dan tatanan perilaku di masyarakat yang mungkin untuk kehidupan saat ini dianggap sebagai sesuatu yang rumit, kuno dan berbau feodal. Di balik kekunoan tersebut, tatanan dan gaya hidup manusia Bali ini seringkali menjadi objek menarik dan unik untuk dilihat, dinikmati, bahkan untuk diteliti lebih dalam. Sebab sampai sekarang, keunikan tatanan kehidupan masyarakat Bali tak habis-habisnya untuk diabadikan, tak habisnya untuk dikoleksi, tak habis-habisnya untuk diteliti, dan tak habis-habisnya ditulis oleh para kuli tinta dan para penulis buku. Termasuk juga tak habis-habisnya untuk dieksploitasi oleh oleh kru televisi yang menayangkan keunikan kehidupan manusia Bali dalam kesehariannya. Semua itu menyangkut desa, kala, patra. Setiap tempat, waktu, akan berbeda situasi dan kondisinya.
Salah satu contoh kecil saja dalam sebuah perkawinan masyarakat Hindu Bali antara seorang yang disebut menak (golongan kesatrya dan brahmana) mengambil istri seorang perempuan dari golongan selain di atas. Artinya si perempuan berasal dari garis keturunan dari luar istana atau luar grya, yang dalam bahasa lumrahnya disebut nak jaba/soroh jaba (golongan selain mnak). Di mana yang dimaksud dengan soroh jaba tersebut adalah golongan masyarakat dari luar istana/luar grya. Atau sering juga disebut dengan soroh sudra/kawula (kasta).
Anggaplah seorang Anak Agung (golonga kesatrya) mengambil istri seorang perempuan dari golongan masyarakat biasa. Setelah dilakukan upacara pekalan-kalan atau upacara madewa saksi, manusia saksi, dan bhuta saksi, maka si perempuan sudah resmi menjadi istri Anak Agung. Mulai saat itu si perempuan menjadi keluarga jero/puri/istana. Kini ia menjadi golongan dalam puri/istana. Karena ia berasal dari keluarga di luar puri (soroh jaba), maka statusnya tidak serta merta berubah menjadi Anak Agung sesuai dengan gelar suaminya. Namun ia akan mendapat gelar sebagai wong jero. Wong artinya orang, Jero artinya dalam, maksudnya adalah orang dalam puri/istana. Gelar wong jero ini dalam kenyataannya akan menjadi tanda pengenal bahwa si perempuan itu berasal dari keluarga jaba. Berbeda dengan perempuan yang berasal dari keluarga sederajat yang mendapat gelar sebagai prami.
Dalam status sebagai wong jero, kemudian ia diberi pungkusan atau gelar jero. Gelar jero di belakangnya biasanya diikuti dengan kata bunga seperti jero puspa, jero sandat, jero gadung, jero jempiring, jero ….. yang melambangkan suatu keindahan, keharuman, atau suatu kemuliaan bagi seorang perempuan.
Gelar jero ini adalah gelar kehormatan, mengingat seseorang perempuan dari latar belakang rakyat biasa menjadi pilihan dari orang istana, pastilah perempuan tersebut memiliki kelebihan tertentu dibandingkan dengan perempuan lain, sehingga raja/orang istana mempersuntingnya menjadi istri.
Status jero ini hanya sampai di sini. Artinya ketika si wong jero tersebut memiliki anak, maka anaknya akan menyandang kedudukan atau status sesuai dengan ayahnya. Kalau ayahnya Anak Agung, maka anaknya Anak Agung, demikian juga dengan Ida Bagus, Dewa, Gusti, Cok, dll.
Tradisi ini terus berkembang dari jaman ke jaman di Bali sesuai dengan kadar feodalisme masyarakat Hindu Bali dalam kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat Bali. Namun sebaliknya, apabila seorang perempuan dari kalangan puri menikah dengan seorang lelaki dari golongan masyarakat biasa, maka hal ini disebut dengan nyerod (turun kasta). Akan terdapat sangsi yang tegas dimana si perempuan tersebut secara otomatis kehilangan keningratannya, kehilangan status sebagai orang puri, kehilangan gelar sebagai Anak Agung, Gusti, Ida Bagus, dll. Bahkan sering pula mereka tak diberikan ijin untuk mohon restu bersama keluarga lelakinya untuk mejauman/meduasa mulih/metipat bantal. Untuk selanjutnya si perempuan tersebut keluar dari keluarga puri dan tergabung menjadi soroh jaba. Ada semacam pemecatan secara otomatis dan sistematis terhadap keberadaan status seorang perempuan ningrat apabila menikah dengan seseorang di luar puri. (Taksu/Nduk)

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!
[google5b9daa06de110b1c.html]