Perempuan tak dapat warisan
Ada sebuah pertanyaan dilayangkan oleh seorang perempuan Bali, sebut saja namanya Ni Polok yang mempertanyakan nasibnya yang tak mendapatkan harta warisan dari orang tuanya. Padahal warisan orang tuanya berupa tanah tegalan dan sawah cukup banyak. Harta tersebut hanya dibagikan kepada saudara laki-lakinya. Ni Polok sedikit kecewa dengan sistem pebagian warisan menurut adat Bali yang dinilainya tak adil kepada perempuan. Ia kemudian mempertanyakan hal tersebut kepada teman-temannya. Karena menurut pertimbangannya, seandainya harta warisan tersebut dibagi rata kepada setiap anak (laki dan perempuan) maka ia akan mendapatkan cukup banyak warisan. Demikian harapan dari Ni Polok.
Ni Polok adalah salah seorang yang mengutarakan masalah ini yang dinilainya tak adil. Mungkin saja sebagian besar perempuan memiliki pemikiran sama, tetapi tak pernah disampaikan secara terus terang, alias menjadi bahan renungan sekaligus bahan bisik-bisik di kalangan perempuan Bali.
Disampaikanlah masalah tersebut kepada temannya I Ketut Alep. Apa jawaban yang didapatkannya? Bukannya pembelaan yang didapat, tetapi malah pembenaran secara adat yang dia dapatkan. Seperti ini kira-kira pendapat I Ketut Alep:
Pembagian waris di Bali secara adat didasari konsep purusha predana (garis laki-laki dan perempuan). Dimana pembagian ini didasari atas suatu kewajiban terhadap leluhur berupa merajan/sanggah/pura yang disebut dengan tetegenan. Dalam hal ini perlu diingat kembali mengenai asas sanan tetegenan. Sanan kata kiasan yang maksudnya identik dengan warisan dalam hal ini adalah harta benda, sedangkan tetegenan adalah kata kiasan untuk menyatakan beban yang mesti dipikul berupa sanggah/merajan yang harus dipelihara secara fisik denganan segala bentuk upacara yang diperlukan. Dengan demikian keterkaitan antara sanan dan tetegenan pada dasarnya adalah satu paket, tak dapat dipisahkan.
Dalam adat Bali berlaku si pewaris adalah dari pihak purusha. Dalam hal ini adalah laki-laki. Atau bisa juga “perempuan yang berstatus purusha” yakni perempuan yang menikahi laki-laki. Atau bisa juga seorang perempuan yang tidak menikah dan tetap tinggal di rumah kelahirnanya. Maka pada status ini si perempuan tersebut berhak untuk mendapatkan warisan.
Tetapi kalau perempuan sudah menikah, maka ia tak berhak untuk mendapatkan warisan. Termasuk pula di dalamnya seorang perempuan yang tadinya sudah menikah, kemudian karena masalah tertentu, ia berpisah dengan suaminya kemudian kembali ke keluarga kelahirannya, maka ia juga tak mendapatkan warisan. Demikian juga dengan seorang lelaki yang nyentana ke rumah seorang perempuan yang dinikahinya, maka ia tak akan mendapatkan harta warisan di tanah kelahirannya, karena ia tidak berstatus purusa di keluarga kelahirannya.
Jadi dalam ukum adat Bali, warisan tersebut adalah satu paket yang terdiri dari dari dua unsur yakni sanan (harta benda sebagai sarana untuk memikul beban tanggungjawab) dan tetegenan berupa tugas nyungsung sanggah dengan segala kewajibannya. Jadi sanan tetegenan sama dengan hak dan kewajiban.
Kenapa perempuan yang menikah tak diberi warisan? Karena tak mungkin seorang perempuan yang sudah menikah meninggalkan rumah (apalagi nikah jauh) akan mampu untuk memelihara dan menyelenggarakan yadnya di merajan tempat kelahirannya. Sebab dengan pernikahan tersebut, maka secara otomatis ia sudah mendapatkan kewajiban baru di tempat dimana ia menikah, dan secara otomatis juga ia bebas dari kewajiban di tanah kelahirannya.
Sebagai konsekuensi dari pernikahan perempuan, maka ia akan menerima atau menikmati warisan yang diterima oleh suaminya dimana ia menikah. Di sanalah si perempuan akan menerima wariasn sekaligus mendapatkan tugas baru sebagai pemelihara dan penyelenggara yadnya di sanggah tempat suaminya mendapatkan warisan. Jadi dengan demikain, adat Bali sebenarnya sudah adil dan tak perlu diragukan lagi.
Tidak saja perempuan yang meninggalkan rumah karena menikah, seorang laki-laki yang pindah agama (dari Hindu ke agama lainnya) juga akan diberlakukan sama. Si lelaki tersebut dengan kepindahan keyakinannya, maka ia juga akan meninggalkan kewajibannya sebagai penyungsung dan pengempon sanggah. Maka ia juga akan bebas dari kewajiban ngodalin atau memelihara sanggah, sehingga secara otomatis juga ia akan dibebaskan dari warisan artinya ia tak berhak untuk menerima warisan.
Termasuk pula seorang lelaki yang meninggalkan keluarga kelahirannya karena menikah dengan seorang perempuan dalam status nyeburin/pekidih/nyentana. Maka dalam hal ini si laki tersebut akan berstatus predana di tempat ia menikah. Di keluarga kelahirannya ia tak lagi mendapatkan tugas kewajiban untuk menyelenggarakan aci sanggah, sehingga ia juga tak akan menerima warisan di keluarga kelahirannya. Dan ia akan menikmati warisan di tempat dimana ia nyeburin atau pekidih.
Artinya di sini bahwa semua harta warisan yang ada di Bali adalah diwariskan oleh para leluhur terdahulu untuk diberikan kepada pretisentana (keturunan), dengan harapan keturunannya akan senantiasa memelihara peninggalan leluhur serta meneruskan keyakinan dari para leluhur terdahulu yakni agama Hindu Bali.
Sejalan dengan perkembangan jaman, sekarang banyak para perempuan yang menikah diberikan harta benda oleh orang tuanya. Baik berupa tanah, rumah, mobil, atau benda-benda berharga yang lainnya, sebagai tanda rasa cintanya kepada anak perempuannya. Di samping itu pula ada juga yang memberikan untuk menunjukkan keberadaan orang tuanya kepada besannya alias “demi gengsi”. Hal tersebut wajar dan sah-sah saja sebagai pemberian orang tua kepada putri tercintanya. Namun apa yang diterima oleh perempuan tersebut bukanlah merupakan warisan yang terikat dengan tugas di sanggah, namun lebih tepat dikatakan sebagai bekel anak tua (bekal orang tua kepada anaknya). Karena pemberian tersebut tidak memiliki keterikatan dengan kewajiban ke sanggah.
Sistem pembagian waris didasari konsep status purusha predana ini menunjukkan suatu karifan leluhur Bali dalam menyiapkan masa depan bagi pretisentananya. Ini berarti bahwa seorang perempuan meski jeli dalam mengamati calon suaminya apakah banyak punya warisan atau tidak. Tapi jangan kecele bahwa di Bali berlaku hukum sanan tetegenan. Artinya makin besar sanan, semakin besar tetegenan. Artinya semakin banyak warisan, jangan-jangan sanggah atau pura yang diempon juga banyak. Ha... ha... (disadur…Taksu 199)
Ada sebuah pertanyaan dilayangkan oleh seorang perempuan Bali, sebut saja namanya Ni Polok yang mempertanyakan nasibnya yang tak mendapatkan harta warisan dari orang tuanya. Padahal warisan orang tuanya berupa tanah tegalan dan sawah cukup banyak. Harta tersebut hanya dibagikan kepada saudara laki-lakinya. Ni Polok sedikit kecewa dengan sistem pebagian warisan menurut adat Bali yang dinilainya tak adil kepada perempuan. Ia kemudian mempertanyakan hal tersebut kepada teman-temannya. Karena menurut pertimbangannya, seandainya harta warisan tersebut dibagi rata kepada setiap anak (laki dan perempuan) maka ia akan mendapatkan cukup banyak warisan. Demikian harapan dari Ni Polok.
Ni Polok adalah salah seorang yang mengutarakan masalah ini yang dinilainya tak adil. Mungkin saja sebagian besar perempuan memiliki pemikiran sama, tetapi tak pernah disampaikan secara terus terang, alias menjadi bahan renungan sekaligus bahan bisik-bisik di kalangan perempuan Bali.
Disampaikanlah masalah tersebut kepada temannya I Ketut Alep. Apa jawaban yang didapatkannya? Bukannya pembelaan yang didapat, tetapi malah pembenaran secara adat yang dia dapatkan. Seperti ini kira-kira pendapat I Ketut Alep:
Pembagian waris di Bali secara adat didasari konsep purusha predana (garis laki-laki dan perempuan). Dimana pembagian ini didasari atas suatu kewajiban terhadap leluhur berupa merajan/sanggah/pura yang disebut dengan tetegenan. Dalam hal ini perlu diingat kembali mengenai asas sanan tetegenan. Sanan kata kiasan yang maksudnya identik dengan warisan dalam hal ini adalah harta benda, sedangkan tetegenan adalah kata kiasan untuk menyatakan beban yang mesti dipikul berupa sanggah/merajan yang harus dipelihara secara fisik denganan segala bentuk upacara yang diperlukan. Dengan demikian keterkaitan antara sanan dan tetegenan pada dasarnya adalah satu paket, tak dapat dipisahkan.
Dalam adat Bali berlaku si pewaris adalah dari pihak purusha. Dalam hal ini adalah laki-laki. Atau bisa juga “perempuan yang berstatus purusha” yakni perempuan yang menikahi laki-laki. Atau bisa juga seorang perempuan yang tidak menikah dan tetap tinggal di rumah kelahirnanya. Maka pada status ini si perempuan tersebut berhak untuk mendapatkan warisan.
Tetapi kalau perempuan sudah menikah, maka ia tak berhak untuk mendapatkan warisan. Termasuk pula di dalamnya seorang perempuan yang tadinya sudah menikah, kemudian karena masalah tertentu, ia berpisah dengan suaminya kemudian kembali ke keluarga kelahirannya, maka ia juga tak mendapatkan warisan. Demikian juga dengan seorang lelaki yang nyentana ke rumah seorang perempuan yang dinikahinya, maka ia tak akan mendapatkan harta warisan di tanah kelahirannya, karena ia tidak berstatus purusa di keluarga kelahirannya.
Jadi dalam ukum adat Bali, warisan tersebut adalah satu paket yang terdiri dari dari dua unsur yakni sanan (harta benda sebagai sarana untuk memikul beban tanggungjawab) dan tetegenan berupa tugas nyungsung sanggah dengan segala kewajibannya. Jadi sanan tetegenan sama dengan hak dan kewajiban.
Kenapa perempuan yang menikah tak diberi warisan? Karena tak mungkin seorang perempuan yang sudah menikah meninggalkan rumah (apalagi nikah jauh) akan mampu untuk memelihara dan menyelenggarakan yadnya di merajan tempat kelahirannya. Sebab dengan pernikahan tersebut, maka secara otomatis ia sudah mendapatkan kewajiban baru di tempat dimana ia menikah, dan secara otomatis juga ia bebas dari kewajiban di tanah kelahirannya.
Sebagai konsekuensi dari pernikahan perempuan, maka ia akan menerima atau menikmati warisan yang diterima oleh suaminya dimana ia menikah. Di sanalah si perempuan akan menerima wariasn sekaligus mendapatkan tugas baru sebagai pemelihara dan penyelenggara yadnya di sanggah tempat suaminya mendapatkan warisan. Jadi dengan demikain, adat Bali sebenarnya sudah adil dan tak perlu diragukan lagi.
Tidak saja perempuan yang meninggalkan rumah karena menikah, seorang laki-laki yang pindah agama (dari Hindu ke agama lainnya) juga akan diberlakukan sama. Si lelaki tersebut dengan kepindahan keyakinannya, maka ia juga akan meninggalkan kewajibannya sebagai penyungsung dan pengempon sanggah. Maka ia juga akan bebas dari kewajiban ngodalin atau memelihara sanggah, sehingga secara otomatis juga ia akan dibebaskan dari warisan artinya ia tak berhak untuk menerima warisan.
Termasuk pula seorang lelaki yang meninggalkan keluarga kelahirannya karena menikah dengan seorang perempuan dalam status nyeburin/pekidih/nyentana. Maka dalam hal ini si laki tersebut akan berstatus predana di tempat ia menikah. Di keluarga kelahirannya ia tak lagi mendapatkan tugas kewajiban untuk menyelenggarakan aci sanggah, sehingga ia juga tak akan menerima warisan di keluarga kelahirannya. Dan ia akan menikmati warisan di tempat dimana ia nyeburin atau pekidih.
Artinya di sini bahwa semua harta warisan yang ada di Bali adalah diwariskan oleh para leluhur terdahulu untuk diberikan kepada pretisentana (keturunan), dengan harapan keturunannya akan senantiasa memelihara peninggalan leluhur serta meneruskan keyakinan dari para leluhur terdahulu yakni agama Hindu Bali.
Sejalan dengan perkembangan jaman, sekarang banyak para perempuan yang menikah diberikan harta benda oleh orang tuanya. Baik berupa tanah, rumah, mobil, atau benda-benda berharga yang lainnya, sebagai tanda rasa cintanya kepada anak perempuannya. Di samping itu pula ada juga yang memberikan untuk menunjukkan keberadaan orang tuanya kepada besannya alias “demi gengsi”. Hal tersebut wajar dan sah-sah saja sebagai pemberian orang tua kepada putri tercintanya. Namun apa yang diterima oleh perempuan tersebut bukanlah merupakan warisan yang terikat dengan tugas di sanggah, namun lebih tepat dikatakan sebagai bekel anak tua (bekal orang tua kepada anaknya). Karena pemberian tersebut tidak memiliki keterikatan dengan kewajiban ke sanggah.
Sistem pembagian waris didasari konsep status purusha predana ini menunjukkan suatu karifan leluhur Bali dalam menyiapkan masa depan bagi pretisentananya. Ini berarti bahwa seorang perempuan meski jeli dalam mengamati calon suaminya apakah banyak punya warisan atau tidak. Tapi jangan kecele bahwa di Bali berlaku hukum sanan tetegenan. Artinya makin besar sanan, semakin besar tetegenan. Artinya semakin banyak warisan, jangan-jangan sanggah atau pura yang diempon juga banyak. Ha... ha... (disadur…Taksu 199)
0 komentar:
Posting Komentar