Rabu, 20 Januari 2010

Sejak awal tahun sembilan puluhan, ketika dunia usaha semakin sulit, kemudian ekonomi semakin sulit ditambah dengan dirambah dengan isu global, ditambah dengan trend hidup manusia di dunia semakin tak mengenal batas negara dan etnis. Hal ini menyebabkan gaya hidup mansuia di belahan dunia barat dan timur semakin menyatu artinya semakin sama gaya hidupya, tanpa dibatasi oleh budaya, adat atau agama. Walaupun masih di beberapa tempat atau agama tertentu dengan sikap radikalismenya masih menutup diri untuk hal itu. Namun semuanya sudah mengarah kepada kehidupan dunia global.
Ketika orientasi pendidikan, orientasi hidup, dan orientasi budaya manusia sudah semakin bergeser, maka budaya Bali dengan sekaa teruna sebagai pemegang estafet budaya juga mengalami degradasi. Manusia Bali kini disuguhkan pada sajian budaya luar yang lebih memikat, lebih praktis dan tentunya lebih trend “up to date” serta lebih gaul. Semuanya disajikan lewat layar kaca yang merambah ke setiap ruangan di setiap insan manusia Bali. Sehingga budaya Bali mendapat saingan yang sangat keras dalam hati setiap manusia Bali. Apalagi kemudian sejak kecil anak-anak Bali sudah disajikan tayangan ala barat, dan sama sekali tak mengandung muatan budaya lokal, apalagi budaya Bali.
Hal ini berlangsung terus menerus, sehingga anak-anak Bali sampai saat ini lebih dahulu mengenal budaya barat dari pada budaya Bali yang harus mereka lakoni. Sebagai contoh misalnya anak-anak Bali lebih dahulu mengenal cerita Naruto, Ultraman, Power Rangers, Spiderman, Popeye, Scoobidoo, Donal Bebek, Miky Mous, Tom Jerry, Sinterclass, dsb., daripada mengenal cerita Bali seperti Siap Selem, I Belog, Pan Balang Tamak, I Kesuna, I Godogan, Penyu Metaluh, I Kedis Cetrung, dsb. Kondisi ini berlangsung sampai dengan si anak yang lahir sampai dewasa dan menjadi sekaa teruna. Sebagian besar dari mereka generasi baru ini kemudian kipak-kipek kebingungan ketika mereka secara riil mulai dihadapkan pada hal-hal warisan budaya dan adat mereka. Mereka bingung, apa yang mesti dilakukan dan apa yang mesti diperbuat. Karena apa yang mereka hadapi saat ini sangat jauh berbeda dengan basik kehidupan pada masa kecil. Pada masa ini basik budaya mereka masih minim, bahkan lemah sekali. Termasuk juga mereka sebenarnya tak memahami apa sebenarnya yang mesti dilakukan sebagai sekaa teruna, atau apa sebenarnya sekaa teruna tersebut. Artinya sekaa teruna tersebut tak diketahui hakekatnya. Artinya mereka memandang sekaa teruna adalah sebagai sebuah organisasi yang hanya sebuah sekaa untuk formalitas saja. Sebab saat ini keberadaan sekaa teruna dianggap tak menyentuh kepentingan mereka secara individu. Jadinya mereka bersifat acuh tak acuh, bersikap apatis terhadap sekaa teruna di banjarnya. Tak begitu aktif dengan kegiatannya, akhirnya apa yang terjadi? Keterikatan atau rasa emosional mereka dengan seka teruna sangat tipis, yang menyebabkan mereka bersikap boleh-boloeh saja, walaupun dalam awig-awig mereka ada semacam sangsi tertentu terhadap sekaa teruna yang malas.
Namun semua itu dikalahkan oleh rasa kepentinagn individu mereka untuk mempersiapkan masa depannya. Ditambah dengan adanya berbagai macam hiburan yang dapat dinikamati sendiri di rumah kapan saja, seperti televisi, radio, handpone, CD, DVD, semakin menjadikan manusia Bali manusia invidual asyik dengan kesendiriannya di rumah atau di kamar. Sehingga acara rapat yang digelar pengurus sekaa teruna di banjar, atau acara ulang tahun sekaa teruna kalah menarik dengan acara sinetron televise. Atau kalah seru dengan permainan game di komputer
Sehingga dengan demikian keterikatan atau kehadiran sekaa teruna menjadi sangat minim di setiap acara. Bahkan yang aktif adalah pengurusnya saja, yang merangkap menjadi anggota. Menjadikan kegiatan atau rapat yang diadakan oleh pengurus sekaa teruna menjadi sepi “amam” dan tak bergairah, karena ulah dari anggota sekaa teruna yang sudah tak mempunyai ikatan batin, tak mempunyai ikatan emosi dengan organisasinya. Ditambah dengan orang tua sekaa teruna yang tak berani begitu keras mengarahkan anaknya untuk ikut di sekaa teruna karena takut anaknya ngambek dan lain-lain. Mengingat posisi tawar anak terhadap orang tua sekarang sangat besar. Anak bisa membuat apa saja sesuai keingiannya, kebanyak orang tua mengalah dan cenderung memanjakan si anak. Berbeda dengan masa lalu dimana kewenangan orang tua sangat besar yang didasari atas pola pendidikan budi perkerti bahwa anak harus taat dan takut kepada orang tua.
Dari sekian banyak pengurus sekaa teruna yang diwawancarai, hampir sembilan puluh persen menyatakan bahwa mereka kewalahan untuk bisa memobilisasi atau menghadirkan anggotanya dalam acara rapat atau dalam kegiatan sekaa teruna. Artinya di setiap sekaa teruna di Bali, mereka merasa ada suatu tingkat partispasi yang sangat rendah dari setiap anggota dalam segala bentuk kegaiatan. Mereka (pengurus sekaa teruna) telah mencoba dengan berbagai macam pendekatan, seperti adanya sangsi, mengatur waktu kegiatan, memberikan rangsangan berupa hadiah bagi mereka yang hadir dan sebagainya. Namun upaya yang dilakukan tersebut hasilnya belum memenuhi harapan. Sehingga sekaa teruna saat ini masih berjalan dengan daya atau tenaganya yang seadanya. Untuk mempertahankan posisi berdirinya saja sekaa teruna seperti orang kelelahan, apalagi dituntut untuk bergerak maju. Pada situasi seperti ini boleh dikata sekaa teruna sebenarnya hdup segan mati tak mau, setengah mati, kolap. Ada yang mencoba untuk berjalan secara tertatih-tatih, tak mau dibilang vakum atau mati, dan sebagainya.
Walaupun apa yang dibuat oleh pengurus untuk meningkatkan partisipasi anggotanya, tetapi kalau semangat dan keinginan tersebut tak muncul dari dalam diri setiap individu anggota sekaa teruna, maka sia-sialah upaya keras dari para pengurus. Sebab generasi muda Bali kini telah mengubah orientasinya dan asik dengan kehidupan individu yang mungkin lebih menarik dan lebih menguntungakan dibandinkan sibuk mengikuti kegiatan sekaa teruna.
Mungkin mereka perlu diberi pemahaman tentang arti penting sekaa teruna. Anak-anak Bali mesti diberikan pemahaman tentang hakekat dan misi sekaa teruna. Akan Sangat bagus kalau mereka diberikan penyadaran akan nilai positif dan nilai mulia dari sekaa teruna. Para senior, para tetua banjar mesti turun gunung sejenak, menengok kondisi sekaa teruna di banjar yang tampaknya mereka sedang kebingungan, berdiri di perempatan dan persimpangan jalan. Mereka mungkin tak tahu kemana harus melangkah.
Tantangn dari para pengurus sekaa teruna dan segenap masyarakat adat dan tokoh agama bahwa semua harus turun gunung. Semua harus menjelaskan dan memberikan pemahaman kepada setiap generasi muda Bali Hindu bahwa keberadaan sekaa teruna sangat penting sebagai benteng pertahanan adapt, budaya dan agama Hindu Bali. Bangkitlah sekaa terunaku dan turun gununglah para tokoh masyarakat, jangan biarkan sekaa teruna kita kebingungan. (terbitan taksu edisi 200)
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!
[google5b9daa06de110b1c.html]