Negeri yang Sok Demokratis
Udeng
nyegir, kamen nyerebet nyapuh jagat. Begitulah penampilan I Wayan Bedag
Poleng saat Tumpek Krulut yakni hari pemujaan kehadapan Sanghyang Isawara. I
Wayan Bedag Poleng yang baru saja selesai menjalankan ritual yakni oton
gambelan. Ia bertemu dengan I Ketut Lutung Puruh sedang duduk bersama I Nyoman Kebo
Edan dan I Made Pitik Bengil. Mereka saling bertegur sapa di batan bingin (di bawah pohon beringin).
Pas di seberang jalan di tempat mereka ngobrol,
terpampang baliho dengan ukuran yang cukup besar memuat gambar pasangan calon gubernur
dan wakil gubernur Bali. Baliho itu lengkap dengan identitas pemasangnya untuk
menunjukkan loyalitas dan dukungan kepada partai dan kandidat. Pertama kali I
Wayan Bedag Poleng menyoroti mengenai baliho yang semarak di seluruh poelosok
tanah Bali yang berisi ucapan selamat Hari Raya Nyepi, Galungan dan Kuningan
lengkap dengan gambar kandidat serta gambar si pemasang. Memamng cerdas si
pemasang. Setali tiga uang, baliho politik mendompleng hari raya untuk mensosialisasikan
kandidat yang diusung, sekaligus ajang unjuk loyalitas pemasang kepada
partainya.
I Wayan Bedag Poleng juga mengatakan, selain
parati, pengurus partai, kini ormas pun terlibat langsung meramaikan panggung
politik praktis di tanah Dewata ini. Ormas tampil dengan dukungan ke kandidat tertentu selain untuk mensosialisasikan
eksistensi ormas tersebut. Tidak itu saja, para perorangan juga ikut nompleng sebagai
pendukung kandidat. Yah boleh dikata numpang ngeceng ke hadapan publik. Belum
lagi kelompok, keluarga, banjar, asosiasi tertentu, dan lain-lain ikut meramaikan
kontes lima tahunan ini. Dengan demikian, hari raya Nyepi, Galungan dan Kuningan,
selain dimeriahkan dengan penjor, juga meriah dengan kontes baliho yang
pemasangannya banyak menyalahi aturan. Oleh karena banyaknya ormas ormas yang
memasang baliho, smpai-sampai pengawas pemilu berpikir dua kali untuk
menertibkan baliho yang pemasangannya menyalahi aturan.
I Nyoman Kebo Edan ikut nimbrung, bahwa
era reformasi yang digulirkan dengan penguatan demokrasi dan supremasi hukum
seperti telah mencari bentuk tersendiri di masyarakat. Reformasi telah
diterjemahkan menjadi sebuah kebebasan tak terbatas. Semua bisa berbuat apa, dimana
dan kapan saja dengan alas an semangat reformasi. Sesuatu yang tadinya tabu
untuk dibicarakan didepan umum. Kini menjadi bahan bualan tanpa tedeng
aling-aling dan melabrak norma-norma kepatutan. Demokrasi diterapkan menjadi segala
sesuatu harus dipilih langsung melalui keberpihakan secara terbuka. Tentu saja
hal ini menyebabkan banyak orang bahkan banyak pejabat publik melakukan perilaku
politik secara terbuka. Ambil contoh dalam pilkada kali ini, semua bupati,
camat, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), kades, kadus, kelian adat, bendesa
atad, kelian subak, pemaksan, melakukan tindakan poltik praktis mendukung salah
satu kandidat. Walaupun memang kita harus menyebutnya sebagai oknum. Inilah
demokrasi terjemahan mereka. Demokrasi model ini menjadi trend di tingkat akar
rumput. Pokoknya dalam pemilihan ketua atau kelian, tak afdol rasanya jika tidak
melakukan pemihihan.
Dengan sedikit keta (gagap), I Ketut Lutung Puruh ikut berkomentar. Tak salah
memang, cuman tindakan ini akan menjadi kontraproduktif apabila masyarakat tak
dewasa dalam berdemokrasi. Sebab, sistem demokrasi diakomodasi, namun budaya
serta moral yang mengikuti demokrasi itu belum diadopsi. Seperti misalnya
kebiasaan dalam berbeda pendapat di kalangan masyarakat kita masih rendah.
Demikian juga dengan menyikapi hasil pemilihan dengan kebesaran jiwa masih
belum terbiasa. Perbedaan pilihan menyebabkan pro kontra di masayarakat yang
rentan memunculkan gesekan social. Justru akan mencederai proses demokrasi itu
sendiri.
I Ketut Lutung Puruh lagi melanjutkan
perkataannya yang gagap itu. Sudah sejak awal jaman reformasi kita sudah belajar
untuk berbeda pendapat dan belajar menerima hasil pemilihan dengan kebesarn
jiwa. Namun sampai sekarang kita belum lulus ujian itu. Kita belum bisa menerima
segala macam perbedaan pendapat dan kekalahan dalam sebuah pemilihan langsung.
Hal ini justru menjadi tantangan bagi demokrasi di tanah ini. Hampir sebagain
besar kekisruhan keamanan yang terjadi
di tanah nusantara ini adalah akibat dari penerapan demokrasi itu sendiri yang
belum matang. Atas dasar demokrasi, masyarakat telah menghancurkan tatanan
moral mereka sendiri, merusak fasilitas umum, dll. Padahl sejatinya masyarakat
itu hidup dan tinggal serta mencari makan di daerah yang sma. Artinya mereka
itu pada dasarnya adalah satu. Karen perbedaan aspirasi mereka menjadi terpecah.
I Nyoman Kebo Edan lalu mengomentari
omongan I Ketut Lutung Puruh. Kalau dipikir-pikir, demokrasi yang cocok bagi
kita adalah Pancasila, tanpa harus malu mengakui keunggulan produk Orde Baru
ini. Demokrasi yang dikontrol oleh tata nilai Pancasila, saling menghargai,
menerima perbedaan, serta pengendalian diri, permusyawaratan, mufakat, serta
dewasa dalam menyikapi permasalahan dalam berdemokrasi, yang pada akhirnya
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kepada negara, secara moral kepada masyarakat,
serta secara spiritual kepada Tuhan Yag Maha Esa. Demokrasi Pancasila yang
dimaksud adalah mengutamakan musyarawah untuk mencapai mufakat. Apabila tidak
ada kata mufakat, barulah kemudian dilakukan pemilihan sebagai jalan terkahir
untuk mengambil keputusan.
Menurutnya Nyoman Kebo Edan, kegiatan
politik yang ideal untuk karakter masyarakat kita di sini adalah sitem poltik
masa mengambang. Dimana kegiatan poltik terbawah terjadi pada tingkatan distrik
atau kecamatan dengan sistem perawakilan yang tak langsung menyentuh akar
rumput. Artinya kegiatan politik praktis terjadi pada tingkat elit, sedangkan
akar rumput hanya sebagai simpatisan yang pasif yang hanya menyalurkan
aspirasinya kepada partai poltik dalam pemilu legislative. Apabila masyarakat
secara praktis terlibat dalam politik seperti sekarang ini, maka tetap saja akan
terjadio benturan, terjadi kerusuhan, masyarakat bergejolak, intrik politik
sangat kental dalam masyarakat, yang berpotensi terjadi bentrok fisik antar
kelompok masyarakat sebagai konsekuensi dari system demokrasi. Negeri bergolak,
masyarakat terpecah. Pemimpin yang terpilih akan hanya focus pada kantong-kantong
suara pendukungnya, seraya mengesampingkan konstituen rivalnya. Sudah tentu hal
ini makin tidak produktif. Konsep pemerataan yang selalu didengungkan tak akan
pernah terlaksana. Belum lagi para pemimpin akan selalu sibuk dengan kegiatan
politik untuk mempertahankan kedudukannya, atau menggapai kedudukan yang lebih
tinggi. Akar rumput saat ini terbelenggu oleh politik. Pokoknya politik..
politik.. poltik..
Pembicaraan tersebut didengarkan dari
tadi oleh Ida Bagus Geruda Mungkur, lalu berkomentar, Tak ada yang tak
berpolitik pada jaman sekarang. Pejabat, pengusasa, kepala desa, camat, kepala
dinas, pegawai, buruh, petami, kelian adat, kepala dusun, kelian subak, guru,
para pemangku, bahkan Ida Pedanda, tak lepas dari kungkunagn politik. Pokoknya
semua komponen masyarakat dan semua potensi terlibat di dalam kegiatan poltik
praktis. Mobilisasi komponen masyarakat secara besar-besaran ini menimbulkan
intrik yang semakin kental di dalam akar rumput yang ketika disulut sedikit
saja, maka akan mudah terbakar menjadi aksi masa yang sudah tentu akan menjadi
kontraproduktif dengan tujuan demokrasi dan reformasi itu sendiri.
Gus Mungkur melanjutkan, artinya dalam
jaman demokrasi dan reformasi ini, sepertinya semua harus memihak. Hidup ini
harus memihak ke salah satu kubu. Hidup ini harus berpolitik, sesuia dengan
kepentingan masing-masing dan berkelompok. Sudah jarang sebuah rapat untuk
memilih pemimpin dilakukan dengan musyawarah mufakat. Sudah jarang sebuah
pengambilan keputusan dilakukan dengan cara paras paros. Inilah iklim demokrasi
menurut masyarakat kita saat ini. Anehnya lagi demokrasi yang diterapkan saat
ini justru melahirkan pemimpin yang korup, akibat dari biaya politik yang
tinggi. Sebab untuk mencapai jabatan
tersebut, sudah banyak ongkos yang dikeluarkan untuk menombok rakyat pemilih.
Demokrasi yang melahirkan budaya sogok menyogok antara kandidat dengan pemilih.
Tak ada uang, tak nyoblos. Kebiasaan untuk memperjualbelikan suara, biar sama-sama
dapat untung. Demikian demokrasi yang berkembang. Demokrasi yang tak dikontrol
hati nurani. Demokrasi yang tak dibarengi dengan supremasi hukum. Demokrasi
yang babak belur dengan berbagai macam pelanggaran, tak ada yang berani memberi
sangksi. Demokrasi kebablasan yang justru melahirkan pemimpin kualitasnya lebih
rendah dibandingkan dengan sistem demokrasi pancasila.
Nah kini giliran dari Anak Agung Toke
Anyud berkomentar. Memang benar apa yang kalian katakana sedari tadi. Belum lagi
biaya untuk sebuah perhelatan akbar seperti pemilu menghabiskan sekian puluh
miliar rupiah. Sungguh dana yang amat besar, yang ujung-ujungnya hanya melahirkan
pemimpin yang korup, mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Sungguh sayang.
Jika saja dana itu digunakan untuk membangun infrastruktur, maka jalan akan
mulus, jembatan kokoh, untuk membeli beras, maka sekian banyak perut akan
terkenyangkan. Atau digunakan untuk memperbaiki pura dan melakukan yadnya, maka
tanah dewata ini akan berlimpah berkah. Kalau saja semua berpikir kolot seperti
aku. Demikian kata Gung Toke.
Perbincangan di bawah pohon beringin itu
menjadi semakin hangat ketika I Putu Gede ande Buaya Mangap datang lalu
mengomentari obrolan tadi. Kini terus terang saja, masyarakat sudah jenuh
dengan pemilihan.. pemilihan.. pemilihan... Sudah repot, biaya tinggi, terjadi
konflik di masyarakat, dan parahnya lagi pemimpin yang dihasilkan tak sesuai dengan
harapan rakyat. Inilah yang menyebbakan
angka kehadiran pemilih dalam pemilu menjadi semakin rendah, alias angka golput
semakin tinggi. Karean rakyat sudah jenuh. Pande Buaya Mangap lalu berpikir dan
berkata. Kalau boleh aku usul, sebaiknya
cukup diadakan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Urusan pemilihan
gubernur, bupati / walikota, serahkan saja kepada Dewan Perwakilan Rakyat di
propinsi maupun di kabupaten / kota. Dengan harapan akan lebih irit, tidak
sibuk, tidak menimbulkan biaya politik tinggi, waktu lebih efisien, tak memerlukan
tenaga yang besar dan mahal. Yang penting lagi adalah untuk meminimalisir
terjadinya gesekan di tingkat akar rumput akibat aspirasi yang berbeda.
Mendengar pemaparan dari Pande Buaya
itu, tampaknya sebagian dari mereka sangat setuju dan sebagian lagi agak keberatan.
Sebab mereka menyandarkan penghasilannya dari kegiatan pemilu, baik itu sebagai
tim sukses, sebagai penyedia property, maupun sebagai pekerja kontrak untuk menjadi
anggota penyelenggara pemunggutan suara. Ha ha .. kalau begitu kayaknya masih
perlu waktu panjang untuk mewujudkan ide ini. Demikian I Putu Pande Buaya
Mangap meninggalkan tempat itu, dan pertemuan saat itupun bubar. (Taksu/02).
negeriku oh negeriku...
BalasHapusKretif bli suta giri.. mantab..
BalasHapus