Senin, 05 Oktober 2015



“Nyen Ngemang Nawang?”

BAHASA BALI ANAK-ANAK MAKIN RANCU

Coba kita perhatikan berbahasa Bali anak-anak Bali saat ini, pastilah ada hal yang sedikit menggelitik dan kedengarannya lucu. Di balik kelucuan tersebut ada sebuah keprihatinan di kalangan kita, bahwa anak-anak Bali berbahasa Bali seadanya tanpa ada yang mengarahkan. Mereka bisa berabahasa Bali karena belajar sendiri dengan tata bahasa sendiri. 


Sebagai contoh: sering kali anak-anak mengucapkan kalimat “nyen ngemang nawang?” maksud anak tersebut adalah “siapa memberitahu tahu?”. Mereka menterjemahkan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Bali secara langsung kata perkata. Mestinya kalimat itu menjadi “Nyen ngorahin?”. Hal ini terjaddi karena anak-anak lebih dahulu mengerti bahasa Indonesia daripada Bahasa Bali, lalu menterjemahkan bahasa Inddonesia ke dalam Bahasa Bali, maka jadilah “Nyen Ngemang Nawang” sebagai terjemahan dari “siapa memberitahu?”. Lucu kedengarannya. 


Hal lain lagi, anak-anak kerapkali mengatakan “Cang sing bisa teka!” untuk mengatakan bahwa “Aku tak bisa datang“. Semestinya anak tersebut mengatakan “cang sing nyidang teka” Ada pula mereka katakan “Cang sing nyidang komputer”, terjemahan dari “saya tak paham komputer”. Semestinya kalimatnya adalah “cang sing bisa computer”. Pemakian kata nyidang dan bisa masih rancu dan sering terbalik.

Ada lagi seorang anak kecil menangis. Lalu kakaknya yang masih ABG mengatakan kepada orang tuanya “ia ngidih mulih”. Maksud ABG tersebut melapor kepada orang tuanya bahwa adiknya menangis karena adiknya minta pulang. Mestinya kalimat yang diucapkan adalah “ia nagih mulih”.


Masih bicara mengenai kerancuan berkata-kata dalam bahasa Bali anak-anak sekarang. Seorang anak ingin meyakinkan perkataan temannya dengan ucapan “beneran ni?” diterjemahkan ke dalam bahasa Bali menjadi “benehan ne?”. Semestinya adalah “seken ne?”


Ada satu lagi, seorang murid SMA menyuruh temannya untuk mencium bau busuk dari benda yang dibawanya dengan ucapan “coba bonin”, semestinya adalah “coba adekin” atau “tegarang adekin”. Anak ini menterjemahkan mentah mentah kata “bau yang artinya bon”.   

Ada lagi yang lebih menggelitik. Di suatu hari ada acara kematian di salah satu rumah. Lalu salah seorang ABG berseru kepada teman-temannya agar tidak rebut karena ada kematian. Maksud ABG tersebut menyampaikan pesan orang tua bahwa “de uyut ada nak sing nu”.  Anak tersebut lalu berkata “diam jangan ribut ada orang tidak masih”. Kontan saja hal ini menjadi suatu hal lucu. 


Contoh di atas adalah sekelumit dari sekian banyak hal kerancuan dalam berbahasa Bali yang diterapkan oleh anak-anak Bali saat ini. Hal ini adalah pengaruh dari perubahan peradaban manusia Bali yangmana anak-anak Bali lebih dahulu diajarkan Bahasa Indonesia (untuk kepentingan pendidikan di sekolah), dibandingkan dengan bahasa Bali. Anak-anak Bali justru baru mulai belajar Bahasa Bali ketika mereka mulai menginjak remaja. 


Namun kita sangat apresiasi terhadap para generasi muda Bali yang mau belajar bahasa Bali walaupun sendiri-sendiri dalam pergaulan. Dan mereka secara kreatif menterjemahkan bahasa Indoesaia ke dalam bahasa Bali. Dan situasi ini mesti menjadi perahtian kita semua sebagai orang tua untuk mengarahkan tata bahasa Bali anak-anak Bali saat ini. Termasuk pula para pengajar, pendidik, dan pemerintah untuk kembali memperhatikan bahasa Bali secara intensif, agar perkembangan Bahasa Bali sesuai dengan lebih terarah. Sebab ketika terjadi bias antara generasi, serta pergeseran mengenai penggunaaan kata per kata serta per kalimat, sudah tentu akan menjadi pergeseran pemahaman, kesalahan persepsi mengenai suatu hal, apalagi menyangkut masalah pemaknaan naskah-naskah Bali. Jadilah kesalahan baca, salah pengertian, dan sudah tentu kesalahan berantai lainnya, akibat dari kesalahan dalam penggunaan kata dalam berbahasa. Ini adalah tugas dari semua komponen masyarakat, baik lembaga  adat, agama, lembaga pendidikan, dan sudah tentu orang tua masing-maisng.


Dan khusus untuk anak-anak ABG Bali, kita salut dengan merekaa, karena mereka telah berusaha unuk berbahasa bali sebagai warisan leluhur. Sangat perlu anak-anak kita ajarkan berbahasa Bali, termasuk bula aksara Bali, satua-satua Bali yang memiliki nilai budi pekerti luhur, sastra Bali yang memuat tentang ajaran agama Hindu, ajaran kemuliaan, serta sejarah-sejarah masa lalu dan lain-lain. Termasuk juga di dalamnya penggunaan sor singgih bahasa (bahasa halus dan biasa) sebagai bagian dari kebudayaan Bali. 

Bahasa Bali bukan saja sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai bahasa kebudayaan, bahasa agama Hindu Bali “bahasa Dewa”, bahasa peradaban, bahasa budi pekerti, bahasa seni, bahasa adat, dan bahkan bahasa Bali memiliki taksu atau kekuatan magis, bahasa Bali mengandung muatan sekala dan niskala. Artinya bahasa Bali adalah kebudayaan Bali itu sendiri. Oleh sebab itu, semua komponen masyarakat Bali mesti bersinergi untuk lebih memperkuat keberadaan Bahasa Bali di tengah-tengah kehidupan masyarakat Bali, untuk menjadikan Bahasa Bali kembali sebagai Bahasa Ibu dan Bahasa Pergaulan. Astungkara. Tks/kanduk

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!
[google5b9daa06de110b1c.html]