“Nyen
Ngemang Nawang?”
BAHASA
BALI ANAK-ANAK MAKIN RANCU
Coba kita perhatikan
berbahasa Bali anak-anak Bali saat ini, pastilah ada hal yang sedikit
menggelitik dan kedengarannya lucu. Di balik kelucuan tersebut ada sebuah keprihatinan
di kalangan kita, bahwa anak-anak Bali berbahasa Bali seadanya tanpa ada yang
mengarahkan. Mereka bisa berabahasa Bali karena belajar sendiri dengan tata
bahasa sendiri.
Sebagai contoh: sering
kali anak-anak mengucapkan kalimat “nyen ngemang nawang?” maksud anak tersebut
adalah “siapa memberitahu tahu?”. Mereka menterjemahkan bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Bali secara langsung kata perkata. Mestinya kalimat itu menjadi “Nyen
ngorahin?”. Hal ini terjaddi karena anak-anak lebih dahulu mengerti bahasa
Indonesia daripada Bahasa Bali, lalu menterjemahkan bahasa Inddonesia ke dalam
Bahasa Bali, maka jadilah “Nyen Ngemang Nawang” sebagai terjemahan dari “siapa
memberitahu?”. Lucu kedengarannya.
Hal lain lagi, anak-anak
kerapkali mengatakan “Cang sing bisa teka!” untuk mengatakan bahwa “Aku tak
bisa datang“. Semestinya anak tersebut mengatakan “cang sing nyidang teka” Ada
pula mereka katakan “Cang sing nyidang komputer”, terjemahan dari “saya tak
paham komputer”. Semestinya kalimatnya adalah “cang sing bisa computer”.
Pemakian kata nyidang dan bisa masih rancu dan sering terbalik.
Ada lagi seorang anak
kecil menangis. Lalu kakaknya yang masih ABG mengatakan kepada orang tuanya “ia
ngidih mulih”. Maksud ABG tersebut melapor kepada orang tuanya bahwa adiknya
menangis karena adiknya minta pulang. Mestinya kalimat yang diucapkan adalah “ia
nagih mulih”.
Masih bicara mengenai
kerancuan berkata-kata dalam bahasa Bali anak-anak sekarang. Seorang anak ingin
meyakinkan perkataan temannya dengan ucapan “beneran ni?” diterjemahkan ke
dalam bahasa Bali menjadi “benehan ne?”. Semestinya adalah “seken ne?”
Ada satu lagi, seorang
murid SMA menyuruh temannya untuk mencium bau busuk dari benda yang dibawanya
dengan ucapan “coba bonin”, semestinya adalah “coba adekin” atau “tegarang
adekin”. Anak ini menterjemahkan mentah mentah kata “bau yang artinya bon”.
Ada lagi yang lebih
menggelitik. Di suatu hari ada acara kematian di salah satu rumah. Lalu salah
seorang ABG berseru kepada teman-temannya agar tidak rebut karena ada kematian.
Maksud ABG tersebut menyampaikan pesan orang tua bahwa “de uyut ada nak sing
nu”. Anak tersebut lalu berkata “diam
jangan ribut ada orang tidak masih”. Kontan saja hal ini menjadi suatu hal
lucu.
Contoh di atas adalah
sekelumit dari sekian banyak hal kerancuan dalam berbahasa Bali yang diterapkan
oleh anak-anak Bali saat ini. Hal ini adalah pengaruh dari perubahan peradaban
manusia Bali yangmana anak-anak Bali lebih dahulu diajarkan Bahasa Indonesia
(untuk kepentingan pendidikan di sekolah), dibandingkan dengan bahasa Bali.
Anak-anak Bali justru baru mulai belajar Bahasa Bali ketika mereka mulai
menginjak remaja.
Namun kita sangat
apresiasi terhadap para generasi muda Bali yang mau belajar bahasa Bali
walaupun sendiri-sendiri dalam pergaulan. Dan mereka secara kreatif menterjemahkan
bahasa Indoesaia ke dalam bahasa Bali. Dan situasi ini mesti menjadi perahtian
kita semua sebagai orang tua untuk mengarahkan tata bahasa Bali anak-anak Bali
saat ini. Termasuk pula para pengajar, pendidik, dan pemerintah untuk kembali
memperhatikan bahasa Bali secara intensif, agar perkembangan Bahasa Bali sesuai
dengan lebih terarah. Sebab ketika terjadi bias antara generasi, serta
pergeseran mengenai penggunaaan kata per kata serta per kalimat, sudah tentu
akan menjadi pergeseran pemahaman, kesalahan persepsi mengenai suatu hal,
apalagi menyangkut masalah pemaknaan naskah-naskah Bali. Jadilah kesalahan
baca, salah pengertian, dan sudah tentu kesalahan berantai lainnya, akibat dari
kesalahan dalam penggunaan kata dalam berbahasa. Ini adalah tugas dari semua
komponen masyarakat, baik lembaga adat,
agama, lembaga pendidikan, dan sudah tentu orang tua masing-maisng.
Dan khusus untuk
anak-anak ABG Bali, kita salut dengan merekaa, karena mereka telah berusaha
unuk berbahasa bali sebagai warisan leluhur. Sangat perlu anak-anak kita
ajarkan berbahasa Bali, termasuk bula aksara Bali, satua-satua Bali yang
memiliki nilai budi pekerti luhur, sastra Bali yang memuat tentang ajaran agama
Hindu, ajaran kemuliaan, serta sejarah-sejarah masa lalu dan lain-lain.
Termasuk juga di dalamnya penggunaan sor singgih bahasa (bahasa halus dan
biasa) sebagai bagian dari kebudayaan Bali.
Bahasa Bali bukan saja sebagai alat
komunikasi, melainkan juga sebagai bahasa kebudayaan, bahasa agama Hindu Bali
“bahasa Dewa”, bahasa peradaban, bahasa budi pekerti, bahasa seni, bahasa adat,
dan bahkan bahasa Bali memiliki taksu atau kekuatan magis, bahasa Bali
mengandung muatan sekala dan niskala. Artinya bahasa Bali adalah kebudayaan
Bali itu sendiri. Oleh sebab itu, semua komponen masyarakat Bali mesti
bersinergi untuk lebih memperkuat keberadaan Bahasa Bali di tengah-tengah
kehidupan masyarakat Bali, untuk menjadikan Bahasa Bali kembali sebagai Bahasa
Ibu dan Bahasa Pergaulan. Astungkara. Tks/kanduk
0 komentar:
Posting Komentar