Sebelum bicara mengenai kesisipan (dipersalahkan) maka ada baiknya kita simak dulu salah
satu dari sekian banyak bhisama / petuah / piteked Betara Kawitan kepada umat manusia yang hidup di dunia.
Salah contohnya adalah bhisama di bawah ini:
Bhisama dari Abra Sinuhun
"Kamung Pasek mwang
Bandesa, aywa lupa ring, kahyangan makadi ring Lempuyang, ring Besakih, ring
Silayukti, mwang Gelgel Dasar Bhuwana. Yan kita, lupa ring kahyanganta, wastu
kita tan anut ring apasanakan, tanwus amangguh rundah, tan mari acengilan ring
apasanakan, tan wus amangguh rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih
gawe kurang pangan, mangkana, piteketku ring parati santana, kapratisteng
prasasti, sinuhun de kita prasama, kita tan wenang piwal ring piteketku,
ila-ila dahat, aywa lupa, aywa lali,
mwah yan kita pageh ring
piteketku, moga tan wus kita amanggihana dirgayusa, amanggih wirya gunamanta,
sidhi ngucap, jannanuraga asihhing Hyang, dibya guna, susila weruhing naya,
mangkana cihanyeng lepihan"
Artinya:
“Kamu Pasek dan Bendesa, jangan
lupa dengan kayanganmu yang ada di Lempuyang (Lempuyang Madya), Besakih (Ratu
Pasek), di Silayukti, dan Dasar Buwana Gelgel (Ratu Pasek). Kalau kamu lupa
dengan kayanganmu, akibatnya kamu cekcok dalam keluarga, tidak henti-hentinya
menemui keresahan, selalu sengketa dalam keluarga, banyak melakukan pekerjaan
tetapi kekurangan makanan. Demikian amanatku kepada keturunan, tercantum dalam
prasasti, agar dijunjung olehmu sekalian. Kamu tidak boleh menyimpang dari
amanatku, sangat berbahaya, jangan lalai, dan jangan mengabaikannya”.
“Bila kamu
taat kepada amanatku, moga-moga kamu senantiasa berada dalam keselamatan,
keberanian, kekuatan, serta budiman, sakti dalam kata-kata, termasyur, dikasihi
oleh Hyang Maha Kuasa. Mulia dan pandai, bertingkah laku yang baik, dan
menguasai ilmu kepemimpinan. Demikian tersebut dalam prasasti”.
Realitas di masyarakat menunjukkan bahwa
banyak orang mengalami sakit yang tak kunjung sembuh. Sudah berobat ke dokter,
justru penyakitnya tak pernah terdiagnosa, sehingga dokter hanya bisa
meraba-raba dan memberi obat yang tak pas. Dibawa ke dukun, juga tak kunjung
sembuh, malah dikatakan kena ilmu hitam saudara yang punya perasaan iri. Justru
sampai di rumah jadi bertengkar dan cekcok dengan saudara. Setelah sekian lama
berobat, sekian banyak uang habis untuk berobat, lalu dicoba bertanya ke jero
dasaran, konon katanya kesisipan dari Ida Betara di merajan atau kawitan.
Disarankan untuk tangkil menghaturkan guru
piduka, akhirnya berangsur sembuh.
Ada lagi sekeluarga besar cekcok tak
berkesudahan dalam rumah tangga, sampai akhirnya mereka tak bertegur sapa satu
sama lain. Seolah-olah permasalahan yang dihadapi selalu menemui jalan buntu
yang berujung pada pertengkaran. Masalah sepele menjadi perseteruan hebat.
Pokoknya ada saja dalih untuk bertengkar. Seperti keluarga tersebut diselimuti
awan gelap, tak ada pikiran terang sedikitpun.
Di lain pihak seringkali sebuah keluarga
selalu dirundung malang, selalu diliputi kesedihan karena ditimpa musibah,
kecelakaan, kehilangan, kesakitan, setiap
usaha yang dibuat selalu merugi, bangkrut dll.
Lain lagi ceritanya, setelah sekian lama
menderita sakit seseorang berobat ke dokter dan ke dukun tak sembuh-sembuh,
lalu bertanya ke Jero Dasaran dikatakan tak terjadi apa-apa. Namun pada suatu
hari salah seorang keluarganya kerauhan
mengatakan bahwa damuh Ida Betara tak
pernah tangkil ke Kawitan, ke Merajan Agung atau ke Paibon. Akhirnya setelah
menghaturkan guru piduka, dan tangkil bersembahyang ke sana, akhirnya berangsur
sembuh.
Pernah kejadian pula seseorang bujang, sebut
saja namanya Wayan Begug bekerja di Denpasar. Ia berasal dari Songan, Kintamani, Bangli, namun jarang pulang. Pada suatu hari
ia mengalami sakit dan badannya terasa tak enak. Ia mengira ini sakit akibat kelelahan
biasa. Namun setelah beristirahat cukup, justru penyakitnya tak kunjung reda.
Sampai akhirnya ia beristirahat berhari-hari. Ia mencoba untuk berobat ke
dokter, namun tak sembuh. Ia mencoba minum jamu-jamuan, malah tak berkasiat
apa-apa. Sampai akhirnya ia mencoba untuk mengkonsultasikan dirinya ke grya
dimana di sana ada orang wikan /
pintar. Di sana didapat bahwa yang bersangkutan kesisipan di sanggah, diharapkan untuk pulang tangkil kehadapan Ida
Betara Kawitan. Walaupun sebenarnya ia di kos setiap hari ngayeng / nyawang / ngayat Ida Betara
Kawitan agar dituntun jalan menuju keselamatan dan kebaikan. Namun demikian ia
tetap diharapkan untuk tangkil kehadapan Ida Betara Kawitan. Akirmya ia segera
pulang untuk tangkil ke merajan kawitan dan akhirnya ia segera sembuh.
Mendengar beberapa contoh di atas, hal
tersebut rasanya tak masuk akal. Namun itulah realitas di masyarakat Bali. Kejadian
ini banyak terjadi di kalangan masyarakat Bali Hindu. Istilah ini disebut
dengan kesisipan (dipersalahkan) oleh
Ida Betara kawitan atau leluhur. Karena pretisentana (keturunan) yang masih
hidup tak pernah pedek tangkil ke asal mula tempat leluhur berstana. Akibatnya,
leluhur akan memberi peringatan kepada para sentana yang malas atau lupa dengan
kawitannya. Peringatan ini sejatinya leluhur sangat sayang kepada sentana agar
tak terlena dengan hidup di dunia, tidak malas memuja Ida Betara Kawitan dan Ida
Sanghyang Widhi. Dari alam sana para leluhur membimbing sentana untuk senantiasa
menjalani yang namanya kemuliaan.
Mengapa hanya kesisipan oleh leluhur (kawitan?). Mengapa jarang terdengar
kesisipan oelh Ida Betara di Pura Kayangan Jagat, atau lainnya? Karean leluhur
merasa bertanggung jawab terhadap sentananya, karena leluhur mempunyai hubungan
langsung dan masih memiliki hubungan emosional dengan sentananya. Demikian juga
kalau diandaikan secara sekala seperti seorang anak yang nakal, maka yang diperingati
adalah orang tuanya, dengan harapan orang tuanya akan memperingati anaknya agar
tak nakal. Kia-kira demikian juga terjadi di niskala, sehingga lebih sering
kita dengan kesisipan karena betara
Kawitan. Walaupun selain kawitan bisa
saja orang mengalami kesisipan di pura umum karena melakukan kesalahan tertentu,
sehingga betara melalui pengawal atau ancangan pura tersebut memberikan semacam
peringatan.
Bagaimana kejadiannya dengan I wayan Begug
yang sudah rajin ngayeng Ida Betara
Kawitan dari tempat kostnya? Perlu diketahui bahwa ngayeng itu adalah mengayat
atau memuja Ida Betara dari tempat yang jauh. Ngayeng dilakukan apabila yang bersangkutan tak sempat tangkil
karena faktor jarak tinggalnya yang terlalu jauh, atau karena waktu yang sangat
mendesak. Ketika Ida Betara di-ayeng,
maka Ida Betara akan hadir dimana beliau di-ayeng
untuk mendengar segala doa dari yang ngayeng.
Namun perlu diingat bahwa ngayeng itu
dilakukan ketika kepepet artinya tak sempat menghadap langsung. Ngayeng itu
kalau di dunia manusia bisa diandaikan seperti berdoa lewat telepon atau
mengirim doa lewat “sms”. Namun tak boleh terus-terusan begitu. Kalau ada
kesempatan, mestinya datang atau menghadap langsung ke kawitan. Itulah yang
diharapkan. Seperti kita menghadap kepada orang tua, tak selamanya kita akan bicara lewat telepon atau sms. Kalau ada
kesempatan, alangkah baiknya bertemu langsung, bisara langsung, tatap muka
langsung, jadi akan terjadi jalinan emosional yang semakin dekat dan semakin
kuat. Karena diantara sentana dan leluhur sejatinya masih ada hubungan emosional,
ada kerinduan diantara keduanya bail sentana
yang ada di dunia dengan leluhur yang sudah berada di alam sunya. Inilah yang
perlu dipahami mengapa banyak orang kesisipan
karena leluhur.
Lalu timbul pertanyaan kenapa Ida Betara di
Besakih atau kayangan jagat tak pernah membuat kesisipam. Karena beliau sifatnya kayangan jagat dan beliau boleh
dipuja dimana saja, dan beliau sudah dipuja langsung di setiap kayangan tiga atau
kayangan umum dimanapun berada. Kalaupun toh beliau akan memberikan peringatan
kepada damuh betara, maka Ida Betara kayangan jagat akan meminta kepada
leluhurnya untuk memberi peringatan kepada sentananya yang malas. Atau Ida
Betara Sungsungan Jagat (Ida Sanghyang Widhi Wasa) sudah menciptakan hukum adil
yang disebut dengan hukm karmapala.
Artinya bahwa hokum tersebut akan bertindak dengan sendirinya, tak perlu
diawasi, dan pasti berlaku adil untuk siapa saja. Oleh karena itu sebagai
manusia Bali, akan terikat dengan tiga hukum di dunia ini yakni hukum negara,
hukum agama atau hukum Tuhan (karmapala) dan hukum leluhur kawitan seperti yang
dituliskan dalam bhisama leluhur. (repro Taksu227/Sup).
0 komentar:
Posting Komentar