Pada kesempatan iini akan diuraikan
keterikatan hubungan banjar. Kata banjar
di dalam bahasa Indonesia berarti ‘kelompok’, berjajar. Dalam tulisan ini
banjar akan diartikan ‘kelompok, kumpulan orang-orang di dalam suatu
tempat di dalam wilayah suatu desa’.
Banjar ini diperkirakan muncul setelah pulau Bali dan pulau-pulau kecil sekitarnya terdiri atas
sembilan kerajaan merdeka dan berdaulat.
Hal ini dapat dibuktikan, bahwa pada zaman Bali Kuno tidak ada satu pun
prasasti raja-raja menyebutkan banjar. Terlebih ketika penduduk Bali saat iitu
masih menggunakan bahasa Bali Kuno, yang ada hanyalah “desa” yang disebut
dengan istilah “banua” dan desa baru yang disebut dengan “banua bharu”. Setelah masuknya bahasa Jawa Kuno pun tidak
ada menyebutkan banjar, yang ada hanya desa yang disebut dengan istilah “karamaan”. Demikian pula halnya ketika Bali telah
ditaklukkan oleh Majapahit dan pusat pemerintahan di Samprangan maupun di
Gelgel tidak ada satupun penyebutan banjar.
Kemudian setelah Pulau Bali ini terdiri atas sembilan kerajaan merdeka
dan berdaulat penuh barulah ada sebutan banjar sampai saat ini.
Kemungkinan munculnya banjar ini
karena penugasan orang-orang dari suatu kerajaan untuk menjaga perbatasan
wilayah kerajaan. Mereka ditempatkan
berkelompok yang diambil dari beberapa warga di suatu desa. Misalnya orang-orang dari Binoh ditugaskan
menjaga perbatasan utara Kerajaan Badung yang berbatasan dengan kerajaan Mengwi.
Demikian pula halnya orang-orang Padang Sambian dan Kerobokan yang ditugaskan
menjaga perbatasan Kerajaan Badung, karena di timur Binoh telah ada Peguyangan
yang berbatasan dengan kerajaan Mengwi. Kemudian kelompok-kelompok itu menjadi
banjar seperti Banjar Batu Mekeem, Tegal Kangin, Tegal Kauh, Liligundi dan
lainnya. Desa tempat tinggal mereka dahulu juga menjadi sebuah banjar dengan
terbentuknya desa adat Peguyangan. Walaupun begitu orang-orang yang tinggal di
Batu Mekeem, Liligundi sampai sekarang masih menyebut ke desa
apabila mereka akan pergi ke Banjara Binoh, karena dahulu Binoh itu
adalah sebuah desa dan sebaliknya orang-orang yang tinggal di Banjar Binoh
pergi ke Batu Mekeem menyebutkan pergi ke “kubu”.
Banjar adalah suatu lembaga terbawah
pada tatanan pemerintahan mulai Pulau Bali menjadi sembilan kerajaan di bawah
desa. Sudah tentu peraturan yang mengikat
warga banjar bersangkutan mirip dengan peraturan desa hanya ruang lingkupnya
lebih kecil demi keefisienan pemanfaatan warga dalam melaksanakan aktifitas
keagamaan. Di dalam warga melaksanakan upacara dewa yadnya keterikatan hubungan
banjar sangat dibutuhkan yaitu warga turut bergotong royong mempersiapkan
upacara tersebut, seperti membuat banten, membuat tetaring serta memberikan bantuan beras, gula dan yang lainnya
kepada warga yang melaksanakan upacara.
Hal ini disebut dengan mejenukan
atau medelokan. Demikian pula di
dalam pelaksanaan upacara bhuta yadnya maupuan bhuta yadnya, keterikatan
hubungan banjar sangat diperlukan. Apabila ada warga mengadakan upacara pitra
yadnya setiap KK, warga banjar wajib membayar patus kepada banjar, berupa satu kg beras, uang Rp. 10.000 yang
akan diberikan kepada warga yang melaksanakan upacara. Untuk upacara Rsi yadnya
biasanya warga langsung mejenukan ke geria sesuai dengan keterikatan hubungan pesiwaan karena masing-masing banjar
warga banjar mempunyai keterikatan hubunghan pesiwaan yang berbeda-beda. Hal
seperti ini memang tidak tercantum dalam awig-awig banjar yang tentu tidak bertentangan dengan awig-awig
desa, hanya spontanitas dari warga banjar dan mengenai patus sudah tercantum di
dalam perarem banjar. Apabila ada warga banjar menentang awig-awig akan
dikenakan sanksi kasepekang banjar. Hukum ini sangatlah berat karena berlaku
sampai ke semua anak dan istri, mereka tidak diperbolehkan menggunakan
pasilitas desa.
Banjar merupakan lembaga terbawah
mulai Pulau Bali menjadi sembilan kerajaan. Struktur kepemimpinan banjar adalah
sebagai ketua disebut Kelihan/klian, sekretaris (penyarikan), bendahara (sedahan),
pembantu (petajuh) dan juru arah (kesinoman). Khusus untuk kesinoman dilakukan bergilir
(wajib) bagi setiap warga banjar, sedangkan untuk jabatan yang lainnya hanya
mendapat kebebasan (luput). Aparat
banjar tidak menerima gaji/upah, hal ini dilaksanakan secara sukarela. Untuk
banjar-banjar yang jumlahnya sedikit digabung menjadi satu wilayah kedinasan
seperti banjar Anyar, Tulangampiang, Poh Gading menjadi satu wilayah kedinasan
yang dikepalai seorang Klian Dinas. Dengan demikian, mulai penjajahan Belanda
wilayah klian dinas merupakan lembaga terbawah. Hak ini akan diuraikan pada
keterikatan hubungan negara. (Taksu...edisi223.hal.72)
0 komentar:
Posting Komentar