Rabu, 16 Mei 2012


Pada kesempatan iini akan diuraikan keterikatan hubungan banjar.  Kata banjar di dalam bahasa Indonesia berarti ‘kelompok’, berjajar. Dalam  tulisan ini  banjar akan diartikan ‘kelompok, kumpulan orang-orang di dalam suatu tempat di dalam wilayah suatu desa’.  Banjar ini diperkirakan muncul setelah pulau Bali  dan pulau-pulau kecil sekitarnya terdiri atas sembilan kerajaan merdeka dan berdaulat.  Hal ini dapat dibuktikan, bahwa pada zaman Bali Kuno tidak ada satu pun prasasti raja-raja menyebutkan banjar. Terlebih ketika penduduk Bali saat iitu masih menggunakan bahasa Bali Kuno, yang ada hanyalah “desa” yang disebut dengan istilah “banua” dan desa baru yang disebut dengan “banua bharu”.  Setelah masuknya bahasa Jawa Kuno pun tidak ada menyebutkan banjar, yang ada hanya desa yang disebut dengan istilah “karamaan”.  Demikian pula halnya ketika Bali telah ditaklukkan oleh Majapahit dan pusat pemerintahan di Samprangan maupun di Gelgel tidak ada satupun penyebutan banjar.  Kemudian setelah Pulau Bali ini terdiri atas sembilan kerajaan merdeka dan berdaulat penuh barulah ada sebutan banjar sampai saat ini.
          Kemungkinan munculnya banjar ini karena penugasan orang-orang dari suatu kerajaan untuk menjaga perbatasan wilayah kerajaan.  Mereka ditempatkan berkelompok yang diambil dari beberapa warga di suatu desa.  Misalnya orang-orang dari Binoh ditugaskan menjaga perbatasan utara Kerajaan Badung yang berbatasan dengan kerajaan Mengwi. Demikian pula halnya orang-orang Padang Sambian dan Kerobokan yang ditugaskan menjaga perbatasan Kerajaan Badung, karena di timur Binoh telah ada Peguyangan yang berbatasan dengan kerajaan Mengwi. Kemudian kelompok-kelompok itu menjadi banjar seperti Banjar Batu Mekeem, Tegal Kangin, Tegal Kauh, Liligundi dan lainnya. Desa tempat tinggal mereka dahulu juga menjadi sebuah banjar dengan terbentuknya desa adat Peguyangan. Walaupun begitu orang-orang yang tinggal di Batu Mekeem, Liligundi sampai sekarang masih menyebut  ke desa  apabila mereka akan pergi ke Banjara Binoh, karena dahulu Binoh itu adalah sebuah desa dan sebaliknya orang-orang yang tinggal di Banjar Binoh pergi ke Batu Mekeem menyebutkan pergi ke “kubu”.
          Banjar adalah suatu lembaga terbawah pada tatanan pemerintahan mulai Pulau Bali menjadi sembilan kerajaan di bawah desa.  Sudah tentu peraturan yang mengikat warga banjar bersangkutan mirip dengan peraturan desa hanya ruang lingkupnya lebih kecil demi keefisienan pemanfaatan warga dalam melaksanakan aktifitas keagamaan. Di dalam warga melaksanakan upacara dewa yadnya keterikatan hubungan banjar sangat dibutuhkan yaitu warga turut bergotong royong mempersiapkan upacara tersebut, seperti membuat banten, membuat tetaring serta memberikan bantuan beras, gula dan yang lainnya kepada warga yang melaksanakan upacara.  Hal ini disebut dengan mejenukan atau medelokan. Demikian pula di dalam pelaksanaan upacara bhuta yadnya maupuan bhuta yadnya, keterikatan hubungan banjar sangat diperlukan. Apabila ada warga mengadakan upacara pitra yadnya setiap KK, warga banjar wajib membayar patus kepada banjar, berupa satu kg beras, uang Rp. 10.000 yang akan diberikan kepada warga yang melaksanakan upacara. Untuk upacara Rsi yadnya biasanya warga langsung mejenukan ke geria sesuai dengan keterikatan hubungan pesiwaan karena masing-masing banjar warga banjar mempunyai keterikatan hubunghan pesiwaan yang berbeda-beda. Hal seperti ini memang tidak tercantum dalam awig-awig banjar yang  tentu tidak bertentangan dengan awig-awig desa, hanya spontanitas dari warga banjar dan mengenai patus sudah tercantum di dalam perarem banjar. Apabila ada warga banjar menentang awig-awig akan dikenakan sanksi kasepekang banjar. Hukum ini sangatlah berat karena berlaku sampai ke semua anak dan istri, mereka tidak diperbolehkan menggunakan pasilitas desa.
          Banjar merupakan lembaga terbawah mulai Pulau Bali menjadi sembilan kerajaan. Struktur kepemimpinan banjar adalah sebagai ketua disebut Kelihan/klian, sekretaris (penyarikan), bendahara (sedahan), pembantu (petajuh) dan juru arah (kesinoman).  Khusus untuk kesinoman dilakukan bergilir (wajib) bagi setiap warga banjar, sedangkan untuk jabatan yang lainnya hanya mendapat kebebasan (luput). Aparat banjar tidak menerima gaji/upah, hal ini dilaksanakan secara sukarela. Untuk banjar-banjar yang jumlahnya sedikit digabung menjadi satu wilayah kedinasan seperti banjar Anyar, Tulangampiang, Poh Gading menjadi satu wilayah kedinasan yang dikepalai seorang Klian Dinas. Dengan demikian, mulai penjajahan Belanda wilayah klian dinas merupakan lembaga terbawah. Hak ini akan diuraikan pada keterikatan hubungan negara. (Taksu...edisi223.hal.72)

0 komentar:

Posting Komentar

Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!
[google5b9daa06de110b1c.html]